Senin, 22 November 2010

Wayang

Salah satu bacaan favorit saya sejak masih anak-anak adalah wayang. Saya ingat suatu hari Ibu datang dari pasar membawa komik Mahabharata karangan RA Kosasih untuk kakak saya. Awalnya buku itu terjaga dengan baik, tetapi setelah beberapa lama buku yang lumayan tebal itu menjadi tipis. Halaman-halamannya mulai lepas dan bertebaran dimana-mana. Ada yang di dapur, ada yang terselip diantara tumpukan majalah, ada di rak buku, ada di ruang tamu, dan sebagainya.

Dari halaman-halaman yang lepas itulah saya mulai membaca cerita wayang. Dari membaca sedikit-sedikit itu lama-lama saya menjadi fans berat cerita wayang, dan melahap komik-komik wayang lain karangan RA Kosasih, seperti Bharata Yudha, Pandawa Seda, Parikesit, Prabu Udrayana, Arjuna Sasrabahu, Ramayana, dsb. Saking kagumnya dengan Rsi Bhisma, waktu itu saya bercita-cita menjadi Rsi. Buat orang tua dan kakek saya, cita-cita itu tentu saja menggelikan. Tapi profesi itulah yang selalu saya jawab saat itu kalau ada yang menanyakan apa cita-cita saya.

Hobi membaca wayang terus berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian. Buat saya wayang menarik bukan hanya karena ceritanya yang menarik, tapi juga karena isinya sangat inspiring. Misalnya bagaimana Karna memegang teguh janji yang telah diucapkannya walaupun dengan memegang janji itu ia mengalami berbagai kesulitan. Contohnya adalah ketika ia memenuhi janjinya untuk selalu memenuhi permintaan yang diajukan seorang pendeta. Dengan memenuhi janji ini maka peluangnya untuk mengalahkan Arjuna, musuh besarnya, menjadi berkurang. Ceritanya adalah sebagai berikut (jadi ngedalang nih). Sebelum perang besar keluarga Bharata dimulai, Karna diperingatkan oleh Dewa Surya bahwa Dewa Indra akan menemuinya dalam wujud seorang pendeta untuk meminta baju zirahnya. Dewa Indra tahu bahwa dengan baju itu tidak akan ada senjata apapun yang mampu melukai Karna sehingga akan sulit bagi Arjuna (putra Dewa Indra) untuk menang melawan Karna. Meskipun telah diberitahu oleh Dewa Surya mengenai hal ini, Karna tetap memberikan baju tersebut ketika pendeta yang diceritakan benar-benar datang menemuinya. Hal ini dilakukan karena Karna pernah berjanji untuk memberi apapun yang diminta oleh seorang pendeta kepadanya. Bagi Karna, memegang janji jauh lebih penting dari ambisi hidupnya untuk mengalahkan Arjuna.

Contoh lainnya adalah bagaimana Bhisma berjanji untuk tidak menikah demi agar ayahnya dapat menikah dengan Dewi Satyawati. Ceritanya sangat menarik. Suatu hari Prabu Santanu, ayah Bhisma, bertemu dengan Dewi Satyawati di hutan. Tertarik akan kecantikan sang dewi, Prabu Santanu melamar Dewi Satyawati untuk menjadi istrinya. Namun Dewi Satyawati menolak karena telah berjanji untuk hanya menikah dengan seorang raja apabila putranya nanti akan diangkat menjadi raja. Prabu Santanu tentu saja tidak dapat memenuhi permintaan Dewi Satyawati ini karena ia telah memiliki seorang putra, yaitu Bhisma. Akhirnya Prabu Santanu pulang ke istana dengan perasaan yang sangat sedih dan lama-lama menjadi sakit. Melihat kondisi sang prabu, Bhisma menjadi cemas. Ia lalu berusaha mencari tahu apa yang terjadi dan akhirnya mengetahui apa yang menjadi beban pikiran ayahnya. Tanpa ragu sedikitpun, Bhisma segera menemui Dewi Satyawati dan mengatakan bahwa ia menyerahkan haknya sebagai raja kepada putra Dewi Satyawati kelak. Dewi Satyawati merasa tersentuh dengan pengorbanan Bhisma, namun ia belum yakin dengan hal ini karena putra Bhisma nantinya tentu akan berusaha merebut hak atas kerajaan Hastina. Untuk meyakinkan Dewi Satyawati bahwa tidak akan ada masalah dengan keturunan Bhisma kelak, Bhisma bersumpah untuk tidak menikah seumur hidupnya. Selanjutnya sumpah itu memang benar-benar dijalankan oleh Bhisma seumur hidupnya, meskipun Bhisma harus mengalami masa-masa yang sangat sulit karena sumpahnya itu.

Karna dan Bhisma memberikan keteladanan bahwa seseorang harus memegang janji yang telah diucapkannya.

Kisah lain yang berkesan adalah kisah Sukrasana. Kisah kali ini justru menunjukkan sikap yang kurang terpuji dari seorang tokoh, yaitu Sumantri. Sumantri dan adiknya, Sukrasana, adalah anak-anak Rsi Suwandagni. Sumantri adalah seorang pemuda yang tampan dan sakti. Sedangkan Sukrasana adalah seorang anak yang buruk rupa. Namun meskipun buruk rupa, Sukrasana anak yang sangat baik. Sukrasana dan Sumantri adalah dua saudara yang saling menyayangi dan kemanapun mereka pergi mereka selalu bersama. Suatu hari Sumantri ingin mengadu nasib ke kota dan mengabdi pada raja Arjuna Sasrabahu. Atas ijin ayahnya ia meninggalkan padepokannya di hutan. Karena tahu adiknya tidak akan mau berpisah darinya, maka Sumantri pergi ketika adiknya masih tidur. Ketika Sukrasana bangun ia mencari-cari dan memanggil-manggil kakaknya. Ia sangat sedih ketika mendapati bahwa kakaknya telah pergi.

Singkat cerita Sumantri berhasil mendapat posisi yang tinggi di kerajaan Mayaspati. Suatu ketika ia mendapat tugas yang sangat sulit yang tidak dapat ia selesaikan, yaitu memindahkan Taman Sri Wedari dari swarga loka ke bumi. Dalam keadaan putus asa, ia bertemu dengan Sukrasana yang rupanya sudah lama meninggalkan padepokan untuk mencarinya. Betapa bahagianya mereka berdua ketika bertemu. Setelah bercakap-cakap sejenak, Sumantri menceritakan permasalahan yang dihadapinya. Ternyata Sukrasana dapat membantu sehingga taman Sri Wedari dapat dipindahkan. Ketika Sumantri hendak kembali ke kerajaan, Sukrasana meminta diijinkan untuk ikut. Ia tidak kuat untuk berpisah lagi dengan kakaknya. Namun sayang Sumantri tidak mau membawa adiknya. Meskipun Sumantri sangat menyayangi adiknya, hatinya tertutup oleh egonya. Merasa menjadi pejabat tinggi, ia malu kalau orang-orang tahu ia memiliki adik yang buruk rupa. Untuk menakuti-nakuti adiknya agar tidak mengikutinya, ia mengeluarkan anak panah. Sayangnya tanpa sengaja anak panah tersebut mengenai Sukrasana dan iapun meninggal. Ketika meninggal, Sukrasana berkata bahwa ia tetap ingin bersama kakaknya dan akan berusaha untuk bersamanya bahkan dalam kehidupan berikutnya.

Ketika remaja, saya mulai membaca Mahabharata dan Ramayana selain karangan RA Kosasih. Dalam salah satu buku yang saya baca, karangan Bapak Sujamto, disebutkan bahwa dalang yang baik adalah dalang yang kaya akan sanggit. Sanggit adalah pesan-pesan moral dalam kisah wayang. Apabila dalang hanya menceritakan jalannya cerita, maka hal tersebut belum cukup. Dalang adalah wong kang wasis ngudhal piwulang, atau orang yang mahir menyampaikan ajaran kebaikan, maka seyogyanya seorang dalang tidak hanya membawakan cerita, namun menggali dan menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.

Saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan Bapak Sujamto tersebut. Oleh karena itu, saya menuliskan kisah-kisah yang berisi pesan-pesan moral dalam Mahabharata dan Ramayana (wah, ngedalang lagi nih). Tulisan itu saya beri judul Butir-Butir Dharma Dalam Mahabharata, dan telah saya tampilkan juga dalam blog ini. Tentu saja banyak kekurangan yang ada pada tulisan tersebut, namun mudah-mudahan tulisan tersebut dapat mendorong peminat Mahabharata dan Ramayana untuk menggali dan menemukan sendiri butir-butir dharma yang tekandung di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar