Jumat, 20 Juni 2014

Resensi Buku : Wayang dan Budaya Jawa


Penulis ; Ir. Sujamto
Penerbit ; Dahara Prize, Semarang 
Cetakan Kedua, 1992

Wayang bukan hanya tontonan tapi juga tuntunan, oleh karena itu peran dalang bagi masyarakat adalah sangat penting. Dalang harus memenuhi standar kualitas tertentu untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik.

Dalam buku ini, Bapak Sujamto membahas secara mendalam mengenai kualitas yang selayaknya dimiliki seorang dalang. Contoh dalang yang memiliki kualitas yang baik menurut beliau adalah (alm) Ki Nartosabdho. Beberapa kelebihan Ki Nartosabdho yang perlu dicontoh oleh dalang-dalang lain adalah dalam hal-hal berikut ini :

1.   Penjiwaan yang total
Totalitas penjiwaan ini menyebabkan setiap pegelaran wayang yang dilakukan Ki Nartosabdho menjadi hidup, komunikatif dan dapat menembus segi-segi paling dalam dari hati nurani penonton, sehingga dalam momen-momen tertentu penonton tidak dapat menahan lelehan airmatanya, mbrebes mili, dan hanyut dalam suasana yang diciptakan oleh Ki Dalang.

2.   Cita dan pandangan hidup
Setiap kali kita menyaksikan dan menghayati sajian Ki Narto, selalu kita diajak untuk lebih   meyakini tentang kamahakuasaan Tuhan (yang oleh Ki Narto sering disebut sebagai Kang Akarya Jagad Saisine (yang menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya-red)). Kita juga diajak untuk lebih semakin yakin bahwa hukum Tuhan, yakni hukum kesemestian atau takdir itu pasti akan berlalu, dan secara kebetulan, atau ndilalah dalam bahasa Jawanya, ia akan ketemu dengan hukum manusia yakni hukum karma, ngundhuh wohing panggawe.

3.      Bakat dan kesungguhan usaha
Pedalangan adalah juga suatu ilmu atau ngelmu, yang perlu ditekuni oleh para dalang dengan laku. Bagi Ki Narto, laku ini dihayati dan diamalkan dalam sepenuh maknanya. Yang jelas dilakukan oleh Beliau adalah terus menerus belajar dengan tekun sampai di akhir hayatnya.

Bagi dalang, membaca buku adalah ibarat menyetrum aki untuk menambah daya. Makin banyak membaca, makin banyak ngelmu yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian ia akan benar-benar bisa ngudhal atau membagi-bagikan simpanan ilmunya itu kepada khalayak penonton.

Selain dengan banyak belajar dan membaca buku, Ki Nartosabdho juga menjalani laku sebagaimana layaknya orang Jawa melakukannya, yaitu dengan jalan tirakat. Dan bagi Ki Narto agaknya tirakat atau prihatin atau laku batin itu diberi arti yang longgar. Perwujudannya tidaklah harus melalui sikap asketis yang keras seperti puasa senin-kamis, mutih, pati geni, ngebleng dan lain-lain, tetapi sekedar membatasi atau tidak mengumbar keinginan ke arah kenikmatan lahiriah melulu. 

Tidak mengumbar nafsu. Itulah hakekat laku batin atau prihatin atau tirakat menurut Ki Narto. Hal ini dijabarkan dalam Wulangreh melalui dua bait tembang Kinanthi yang sering didendangkan oleh Ki Narto, yaktni sebagai berikut :

Padha gulangen ing kalbu
ing sasmita amrih lantip
aja pijer mangan nendra 
ing kaprawiran den kesthi
pesunen sariranira 
sedanen dhahar lan guling 


Dadiya lakunireku 
cegah dhahar lawan guling
lawan aja sukan-sukan
anganggowa sawatawis 
ala wateke wong suka
nyuda prayitna ning batin 

Terjemahan bebas :

Biasakan melatih jiwamu 
agar peka dalam menangkap isyarat gaib 
jangan mengumbar nafsu makan dan tidur 
utamakan keluhuran budi 
kurangi makan dan tidur 

Jadikan sebagai laku yang kau biasakan 
membatasi makan dan tidur (berfoya-foya) 
jangan mengutamakan kesenangan 
pakailah kewajaran dan pembatasan 
sifat orang mengumbar kesenangan adalah 
mengurangi kewaspadaan batin 

Laku sederhana yang dijalani oleh Ki Narto setiap hari antara lain adalah mencoba tidak memakan salah satu dari makanan-makanan yang paling digemarinya.

Mengapa Ki Nartosabdho, dan kebanyakan orang Jawa (terutama di waktu yang lalu), suka menjalankan laku batin seperti itu? Karena setiap laku batin itu mempunyai daya psikologis, bahkan bagi yang percaya, mempunyai daya magis, untuk meningkatkan kesungguhan, ketekunan dan ketabahan serta keuletan seseorang dalam memperjuangkan cita-citanya.

Dalam penutup ulasan butir tiga ini, Bapak Sujamto menyampaikan harapannya terhadap para dalang yang ingin meningkatkan kwalitas diri sampai bisa menyamai atau bahkan melampaui Ki Nartosabdho, agar menjalani laku seperti Ki Narto menghayati dan mengamalkannya, yaitu lewat laku lahir dan laku batin. Laku lahir adalah belajar dan berlatih tak kenal henti, termasuk banyak membaca buku. Dan laku batin adalah seperti pesan Wulangreh tersebut di atas.

4.      Kreativitas

5.      Sanggit
Sanggit adalah kemampuan dan kemahiran dalang melalui penyajian serta pengaturan dialog dan skenario untuk membentuk atau mengarahkan opini penontonnya terhadap jalannya cerita, sejalan dengan norma dan etika yang dianut Ki Dalang. Dalang yang kaya akan sanggit dapat menggali pesan moral dari adegan-adegan wayang, sehingga peran wayang sebagai tuntunan benar-benar berjalan. Sedangkan dalang yang miskin sanggit hanya akan menyampaikan cerita tanpa menggali atau menyampaikan nilai moral dan filsafat yang terkandung di dalamnya.  

6.      Penguasaan bahasa dan pengetahuan umum

7.      Pesan dan Kritik

8.      Membaca dan mengarahkan selera publik

9.      Menguasai pakem
Dalam pewayangan ada pakem-pakem tertentu yang harus diikuti oleh dalang. Bukan berarti dalang tidak boleh berimprovisasi, namun demikian ada hal-hal tertentu yang sudah merupakan hal-hal yang dibakukan. Menurut pengamatan Bapak Sujamto, pembakuan tersebut meliputi tata gendhing dan irama gamelan, tata urutan penyajian adegan, pembakuan jalan cerita, pembakuan watak, pembakuan bentuk wayang, pembakuan etika wayang, pembakuan simbol-simbol pokok, pembakuan suluk, dan arahan terhadap aspek-aspek tertentu. 

Dalam hal pembakuan bentuk watak, terdapat beberapa dalang yang kurang tepat menjelaskan karakter suatu tokoh wayang, sehingga gambaran tokoh wayang tersebut menjadi kurang tepat. Contohnya adalah karakter Bhagawan Drona. Sebenarnya tokoh Bhagawan Drona adalah tokoh yang baik dan bijaksana, namun penggambaran yang kurang tepat maka ia digambarkan menjadi tokoh yang licik. Yang menjadi masalah adalah kalau dalang yang melakukan penggambaran tersebut adalah dalang yang populer, maka penggambaran ini akan menyebar luas dan diikuti dalang-dalang muda. Contoh lain adalah penggambaran Dewi Kunthi. Meskipun pandangan ini tidak banyak, namun terdapat pandangan bahwa Dewi Kunthi adalah wanita yang memiliki perilaku tidak baik, karena ia telah melahirkan putera pertamanya tanpa suami. Terhadap pendapat-pendapat tersebut Bapak Sujamto menyampaikan sendiri penilaiannya terhadap Dewi Kunthi, bahwasanya Dewi Kunthi adalah seorang wanita yang sangat mulia. Bahwasanya ia melahirkan puteranya tanpa suami adalah karena ia mendapat berkah dari Dewa Surya, yang sama sekali tanpa melalui hubungan badan. 

Sebagai penutup tulisan ini, berikut adalah kutipan kisah Dewi Kunthi yang dituturkan Bapak Sujamto dalam buku ini. 

* * *  
             
Kunthi adalah sekar kedhaton (putri raja) mandura, anak Prabu Kuntiboja, yang dalam pewayangan Jawa mempunyai 4 orang anak, yaitu Basudewa (yang menurunkan Baladewa dan Kresna), Dewi Kunthi, Haryaprabu Rukma (paman dan mertua Kresna) dan Raden Ungrasena (ayah Setyaki).

Pada waktu masih gadis remaja, Kunthi sering ditugaskan oleh ayahnya untuk melayani keperluan-keperluan Rsi Druwasa, pendeta istana Mandura dan sahabat ayahnya. Rsi Druwasa amat terkesan dan puas sekali atas layanan-layanan Dewi Kunthi. Dan sebagai seorang pendeta yang telah tinggi tataran ilmunya, ia bisa mengetahui nasib malang yang akan menimpa bakal suami Dewi Kunthi kelak. Kemudian Rsi Druwasa memberikan hadiah kepada Kunthi berupa aji pameling, yaitu sejenis mantra yang dapat digunakan untuk mendatangkan dewa yang dikehendaki; dan dewa yang didatangkan itu akan memberikan anak kepada yang mendatangkannya. Dalam pedalangan, aji ini terkadang disebut pula sebagai Aji Kunta Wekasing Rasa atau nama lain lagi. Dalam Rajagopalachari (1989) disebut sebagai son – giving mantra.

Karena Mahabharata itu berasal dari India, maka ada baiknya kita membuka-buka sumber acuan dari sana. Meskipun di India sendiri juga sudah ada berbagai versi, tetapi setidak-tidaknya itu sudah lebih dekat dari sumbernya. Marilah kita simak kutipan dari Rajagopalachari sebagai berikut :
 
(dalam buku Bapak Sujamto megutip langsung tulisan tersebut dalam bahasa Inggris, disertai dengan terjemahannya yang diambil dari Mahabharata karya Nyoman S. Pendit, untuk mempersingkat maka yang akan saya tampilkan disini adalah terjemahannya saja)
Ketika Kunti Devi masih merupakan gadis kecil, Resi Durvasa pernah tinggal di rumah ayahnya sebagai tamu dan Kunti Devi melayani rsi tersebut selama satu tahun dengan penuh perhatian, kesabaran dan kebaktian. Resi itu merasak sangat puas akan kebaktian Kunti Devi sehingga ia lalu memberikan mantra suci. Ia berkata : “Apabila engkau hendak memanggil Dewa yang mana saja mantra suci ini akan menolong engkau. Ia akan muncul di hadapanmu dan akan memberi restu agar engkau mempunyai anak yang kebesarannya sama dengan Dia”. Rsi Durvasa memberikan mantra itu kepadanya, karena ia telah meramalkan dengan kekuatan yoginya, bahwasanya Kunti Devi akan menemui nasib yang jelek dengan bakal suaminya di kemudian hari.

Karena ingin tahu dan tidak dapat menahan kesabarannya Kunti Devi lalu berhasrat untuk mencoba sekali-sekali kekuatan serta akibat mantra tersebut dengan jalan secara diam-diam mengulangi mantra itu dengan menyebut nama Dewa Matahari yang dibayangkannya bercahaya-cahanya di sorga. Tiba-tiba langitpun menjadi gelap gulita penuh dengan kabut tebal, dan dari balik kabut itu menculah Dewa Matahari mendekati Kunti Devi yang cantik dan berdiri di dekatnya dengan pandangan kagum dan simpati yang menembus kalbu. Kunti Devi, karena dipengaruhi kekuatan gaib dan penglihatan yang agung serta suci dari tamunya, lalu berkata : Oh Dewa, siapakah gerangan engkau ini?”

Dewa Matahari menjawab : “Wahai Juwita, aku ini adalah matahari. Aku telah ditarik oleh kekuatan gaib mantra yang engkau ucapkan untuk memanggil aku”.

Kunti Devi dengan perasaan sangat kaget dan gembira berkata : “Aku adalah gadis kecil yang masih ada di bawah pengawasan ayahku. Aku belum dan tidak patut untuk menjadi Ibu dan tidak pernah memimpikan hal tersebut. Aku hanya ingin mencoba kekuatan mantra yang telah diberikan oleh Rsi Druvasa. Kembalilah dan maafkanlah kedunguanku yang kekanak-kanakkan ini”. Tetapi Dewa Matahari tidak bisa kembali karena kekuatan gaib mantra itu menahan dia, sedangkan Kunthi Devi merasa cemas setengah mati kalau-kalau kelak dihinakan oleh seluruh dunia. Namun demikian Dewa Matahari meyakinkannya :

“Tidak akan ada hinaan terhadap dirimu, karena setelah melahirkan anakku engkau akan kembali menjadi perawan suci sebagai semula”.

Kunti Devi pun mengandunglah dengan rakhmat Dewa Matahari yang memancarkan cahaya dan memberi hidup kepada dunia. Dan kelahiran suci dari anaknya tibalah seketika itu juga tidak sebagai kelahiran manusia biasa yang dikandung selama kurang lebih sembilan bulan. Kunti Devi melahirkan Karna yang muncul dengan alat persenjataan perang suci serta anting-anting bercahaya-cahaya indah seperti matahari. Karena inilah yang kelak menjadi pahlawan terbesar di dunia. Kunti Devi setelah melahirkan karna menjadi perawan suci lagi akibat dari kekuatan gaib yang diberikan oleh Dewa Matahari.

Dari kutipan tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa pertemuan Kunti dengan Dewa Matahari (atau Bathara Surya dalam pewayangan Jawa) sama sekali tidak mengandung bau-bau asmara, apalagi seks.

Hubungan dengan Bathara Surya-Kunthi adalah proses gaib yang penuh dengan lambing-lambang. Kelahiran Karna adalah kelahiran gaib. Bukan kelahiran biasa. Dan ratio manusia memang tak akan mampu menggapai hal-hal yang bersifat gaib. Ratio memang bukan alat untuk itu. Ratio manusia memang telah berhasil meningkatkan ilmu dan tehnologi ke tingkat yang lumayan seperti sekarang ini dan telah berhasil pula menyingkap misteri alam dengan hukum-hukumnya yang diciptakan oleh Tuhan. Tetapi itu semua barulah sebagian amat kecil dari rahasia ciptaan Tuhan yang Mahabesar ini. (catatan penulis – menurut hemat saya, ratiopun bisa menjangkau hal-hal yang “bersifat gaib”. Kita menyebut gaib, karena kebetulan pengetahuan kita saat ini belum mencapai hal tersebut. Namun, begitu pengetahuan kita sudah mencapainya, hal itu tidak lagi disebut gaib lagi. Sebagai contoh, “hal gaib” yang dimaksud Bapak Sujamto disini, yaitu Dewi Kunti dapat hamil tanpa ada pihak kedua yang membuahi, sekarang hal ini sudah bukan hal gaib lagi. Baru-baru ini seorang ilmuwan wanita dari Australia mengadakan eksperimen melalui tikus. Dengan eksperimen tersebut ia membuktikan bahwa kehamilan dapat terjadi tanpa perlu pihak kedua (sang bapak). Dengan menggunakan unsur-unsur di tubuh si tikus sendiri, tikus tersebut dapat hamil. Namun percobaan ini belum dilakukan terhadap manusia.)

Persoalan lain yang sering memberatkan penilaian orang terhadap Dewi Kunti adalah tentang dilarungnya Karna. Ini yang menimbulkan anggapan bahwa Dewi Kunti itu kejam dan suka menganiaya anak. Anggapan seperti itu adalah keliru. Memang, sebagai seorang gadis remaja, Kunti merasa takut dan kebingungan dengan lahirnya Karna. Tetapi Resi Druwasa menyelesaikan persoalan itu dengan baik. Sebagai seorang pendeta yang berilmu tinggi, ia dapat mengetahui bahwa semua yang terjadi di dunia ini terjadi atas kehendak Tuhan. Manungsa among saderma nglakoni (manusia hanya sekedar menjalani takdir yang telah ditentukan). Ia tahu bahwa pada saat itu sedang bertapa di tepi sungai Yamuna, seorang raja yang ditangisi oleh istrinya karena telah sekian tahun tak punya anak. Raja itu adalah Prabu Radeya dari Petapralaya. Atas usul Resi Druwasa, Karna dilarung ke sungai Yamuna, karena sesuai dengan takdirnya, Karna  itu sudah pinasthi menjadi anak angkat Radeya. Bagi Radeya, bayi yang ditemukannya itu adalah anugrah Tuhan, buah hasil permohonannya yang sungguh-sungguh, selama ia bertapa di tepi sungai Yamuna. Semua kejadian itu tampaknya serba kebetulan. Dalam bahasa Jawa: ndilalah; tetapi sebenarnya di alam ini tidak ada kejadian yang kebetulan. Semua sudah dijalin dan dirancang oleh Perancang Agung, Yang Maha Mengetahui, Gusti Ingkang Maha Wikan. Di mata manusia, semua terjadi menurut hukum sebab dan akibat, atau hukum ngunduh wohing panggawe. Semua akan memperoleh hasil sesuai dengan perbuatannya! Dan kedua dimensi itu selalu bertemu di titik-titik yang telah ditentukan.

Kembali kepada Dewi Kunthi dengan aji pamelingnya. Resi Druwasa memberikan aji tersebut kepada Dewi Kunthi karena ia tahu melalui kemampuan gaibnya, bahwa kelak Kunthi memerlukan aji itu untuk mengatasi kesulitan akibat musibah yang menimpa suaminya. Siapa suami Kunthi dan bagaimana musibah itu?

Setelah menginjak dewasa, Dewi Kunthi sangat termashur kecantikannya dan keluhuran budinya. Banyak raja dan para ksatria yang ingin mempersuntingnya. Singkat kata, setelah suatu melalui sayembara, Kunthi berhasil dipersunting dan menjadi permaisuri Prabu Pandudewanata dari kerajaan Astina. Kemudia Pandu juga mempersunting Dewi Madrim, adik Raden Narasoma dari kerajaan Mandaraka, yang setelah menjadi raja bergelar Prabu Salya.

Pada suatu hari Prabu Pandu berburu ke hutan. Tak lama kemudian dilihatnya sepasang kijang sedang berburu dengan asyiknya. Sebagai pemburu, Prabu Pandu lantar membidikkan panahnya ke arah kijang jantan. Dan bidikan Prabu Pandu memang tidak pernah meleset. Dalam sekejap terdengarlah bunyui lengkingan yang menyayat dan mengharukan. Kijang jantan yang sebenarnya adalah Rsei Kimindana, pendeta yang sedang menyamar dan bercengkerama dengan istrinya itu mati seketika dan lenyap dengan raganya serasa meninggalkan sumpah kepada Pandu sebagai berikut :

"Hai Prabu Pandu, kau raja yang tidak berperikemanusiaan, tak tahu sopan santun. Senang mengganggu ketenteraman orang lain. Oleh karena itu hati-hatilah, di kala engkau sedang bercumbu rayu dengan istrimu, disitulah sampai ajalmu. Kemudian ketahuilah hai Pandu, kau telah membunuh seorang Brahmana tanpa dosa, tunggulah saatnya tiba."

Tentu saja Pandu amat menyesal dan bersedih hati. Menyesal atas perbuatannya yang tidak hati-hati sehingga merugikan orang lain. Bersedih hati karena dengan kutukan itu berarti seumur hidup ia tak mungkin melakukan hubungan seperti layaknya suami dengan istrinya, yang berarti juga tak mungkin lagi ia memperoleh keturunan.

Merasakan kepedihan suaminya yang amat sangat itu Dewi Kunthi menceritakan kepada Pandu tentang aji pameling pemberian Resi Druwasa. Kemudian Dewi Kunthi mengusulnkan kepada suaminya untuk mengupayakan anak melalui kelahiran-kelahiran gaib atas rakhmat dewa-dewa yang dikehendakinya. Pandu menyetujui usul itu, bahkan menghendaki agar kelahiran gaib itu terjadi pula melalui Dewi Madrim. Maka lahirlah berturut-turut dari rahim Dewi Kunthi : Puntadewa atas rakhmat Sang Hyang Dharma, dewa kebajikan ; kemudian Bima atau Bratasena atau Wekudara atas rahmat Bathara Bayu, dewa angin; dan yang ketiga adalah Arjuna atau Permadi atas rahmat Bathara Endra, dewa angkasa raya, lambing dari sifat yang sempurna dan gagah berani; dan dari Dewi Madrim lahir sekaligus (kembar) Nakula dan Sadewa atas rahmat dewa kembar Aswin. Kelima anak laki-laki itulah yang disebut Pandawa, yang berarti keturunan Pandu.

Syahdan, sebagai seorang laki-laki biasa, Pandu yang memang amat mencintai kedua istrinya itu akhirnya tak dapat membendung hasratnya untuk dapat memadu kasih dengan Dewi Madrim. Dan pada saat itu pula terjadilah apa yang telah dikutukan kepada Pandu oleh Resi Kimindana.

Dari kisah-kisah tadi dan lebih-lebih kisah-kisah kelanjutannya dalam mengasuh kelima anaknya yang telah ditinggal oleh suami dan Dewi Madrim, terbukti bahwa Kunthi adalah profil seorang ibu yang berbudi luhur, penuh kasih sayang kepada anak-anaknya (termasuk kedua anak tirinya) dan kepada sesama, serta tabah dalam menghadapi setiap keadaan, dilandasi sikap yang percaya penuh terhadap keadilan dan kekuasaan Yang Maha Agung.

Demikianlah gambaran sekilas tentang Dewi Kunthi. Pada akhir cerita Bapak Sujamto menyampaikan bahwa beliau tidak menganggap bahwa versi yang ditampilkannya yang paling benar. Banyak memang versi-versi lain yang berbeda-beda. Dan tentu saja kita bebas menentukan pendapat dan pilihan. Namun demikian, dalam hubungan ini beliau mengajak agar kita memilih versi yang mempunyai sumber acuan yang kuat dasarnya dan yang paling bermanfaat bagi khalayak ramai untuk dikembangkan. Apalagi kalau kita ingat bahwa wayang bukanlah sekedar tontonan tapi juga tuntunan. 

Akhir kata, terima kasih telah membaca resensi buku Wayang dan Budaya Jawa. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.



( tulisan ini pernah saya tampilkan juga di 
http://www.oocities.org/tirtayatra/wayang_budaya_jawa.htm )