Penulis ; Ir. Sujamto
Penerbit ; Dahara Prize, Semarang
Cetakan Kedua, 1992
Wayang bukan hanya tontonan tapi juga tuntunan, oleh karena itu peran dalang bagi masyarakat adalah sangat penting. Dalang harus memenuhi standar kualitas tertentu untuk
dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Dalam buku ini, Bapak Sujamto membahas
secara mendalam mengenai kualitas yang selayaknya dimiliki seorang dalang. Contoh dalang yang memiliki kualitas yang baik
menurut beliau adalah (alm) Ki Nartosabdho. Beberapa kelebihan Ki Nartosabdho yang perlu
dicontoh oleh dalang-dalang lain adalah dalam hal-hal berikut ini :
1. Penjiwaan yang total
Totalitas
penjiwaan ini menyebabkan setiap pegelaran wayang yang dilakukan Ki Nartosabdho menjadi hidup, komunikatif dan dapat menembus segi-segi paling dalam dari hati
nurani penonton, sehingga dalam momen-momen tertentu penonton tidak dapat
menahan lelehan airmatanya, mbrebes mili, dan hanyut dalam suasana yang
diciptakan oleh Ki Dalang.
2. Cita dan pandangan hidup
Setiap kali kita menyaksikan dan menghayati sajian
Ki Narto, selalu kita diajak untuk lebih meyakini tentang kamahakuasaan Tuhan
(yang oleh Ki Narto sering disebut sebagai Kang Akarya Jagad Saisine (yang
menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya-red)).
Kita juga diajak untuk lebih semakin yakin bahwa hukum Tuhan, yakni hukum
kesemestian atau takdir itu pasti akan berlalu, dan secara kebetulan, atau ndilalah
dalam bahasa Jawanya, ia akan ketemu dengan hukum manusia yakni hukum karma, ngundhuh
wohing panggawe.
3.
Bakat dan kesungguhan usaha
Pedalangan adalah juga suatu ilmu atau ngelmu, yang
perlu ditekuni oleh para dalang dengan laku. Bagi Ki Narto, laku ini dihayati
dan diamalkan dalam sepenuh maknanya. Yang jelas dilakukan oleh Beliau adalah
terus menerus belajar dengan tekun sampai di akhir hayatnya.
Bagi dalang, membaca buku adalah ibarat menyetrum
aki untuk menambah daya. Makin banyak membaca, makin banyak ngelmu yang dimiliki
atau dikuasainya. Dengan demikian ia akan benar-benar bisa ngudhal atau
membagi-bagikan simpanan ilmunya itu kepada khalayak penonton.
Selain dengan banyak belajar dan membaca buku, Ki Nartosabdho juga menjalani laku sebagaimana
layaknya orang Jawa melakukannya, yaitu dengan jalan tirakat. Dan bagi Ki Narto
agaknya tirakat atau prihatin atau laku batin itu diberi arti yang longgar.
Perwujudannya tidaklah harus melalui sikap asketis yang keras seperti puasa
senin-kamis, mutih, pati geni, ngebleng dan lain-lain, tetapi sekedar membatasi
atau tidak mengumbar keinginan ke arah kenikmatan lahiriah melulu.
Tidak mengumbar nafsu.
Itulah hakekat laku batin atau prihatin atau tirakat menurut Ki Narto. Hal ini
dijabarkan dalam Wulangreh melalui dua bait tembang Kinanthi yang
sering didendangkan oleh Ki Narto, yaktni sebagai berikut :
Padha gulangen ing kalbu
ing sasmita amrih lantip
aja pijer mangan nendra
ing kaprawiran den kesthi
pesunen sariranira
sedanen dhahar lan guling
Dadiya lakunireku
cegah dhahar lawan guling
lawan aja sukan-sukan
anganggowa sawatawis
ala wateke wong suka
nyuda prayitna ning batin
Terjemahan bebas :
Biasakan melatih jiwamu
agar peka dalam menangkap isyarat gaib
jangan mengumbar nafsu makan dan tidur
utamakan keluhuran budi
kurangi makan dan tidur
Jadikan sebagai laku yang kau biasakan
membatasi makan dan tidur (berfoya-foya)
jangan mengutamakan kesenangan
pakailah kewajaran dan pembatasan
sifat orang mengumbar kesenangan adalah
mengurangi kewaspadaan batin
Padha gulangen ing kalbu
ing sasmita amrih lantip
aja pijer mangan nendra
ing kaprawiran den kesthi
pesunen sariranira
sedanen dhahar lan guling
Dadiya lakunireku
cegah dhahar lawan guling
lawan aja sukan-sukan
anganggowa sawatawis
ala wateke wong suka
nyuda prayitna ning batin
Terjemahan bebas :
Biasakan melatih jiwamu
agar peka dalam menangkap isyarat gaib
jangan mengumbar nafsu makan dan tidur
utamakan keluhuran budi
kurangi makan dan tidur
Jadikan sebagai laku yang kau biasakan
membatasi makan dan tidur (berfoya-foya)
jangan mengutamakan kesenangan
pakailah kewajaran dan pembatasan
sifat orang mengumbar kesenangan adalah
mengurangi kewaspadaan batin
Laku sederhana yang dijalani oleh Ki Narto setiap hari antara lain adalah mencoba tidak memakan salah satu dari makanan-makanan yang paling digemarinya.
Mengapa Ki Nartosabdho, dan kebanyakan orang Jawa (terutama
di waktu yang lalu), suka menjalankan laku batin seperti itu? Karena setiap laku
batin itu mempunyai daya psikologis, bahkan bagi yang percaya, mempunyai daya
magis, untuk meningkatkan kesungguhan, ketekunan dan ketabahan serta keuletan
seseorang dalam memperjuangkan cita-citanya.
Dalam penutup ulasan butir tiga ini, Bapak Sujamto menyampaikan harapannya terhadap para dalang yang ingin meningkatkan kwalitas diri sampai bisa menyamai atau bahkan melampaui Ki Nartosabdho, agar menjalani laku seperti Ki Narto menghayati dan mengamalkannya, yaitu lewat laku lahir dan laku batin. Laku lahir adalah belajar dan berlatih tak kenal henti, termasuk banyak membaca buku. Dan laku batin adalah seperti pesan Wulangreh tersebut di atas.
4.
Kreativitas
5.
Sanggit
Sanggit adalah kemampuan dan kemahiran dalang melalui penyajian serta pengaturan dialog dan skenario untuk membentuk atau mengarahkan opini penontonnya terhadap jalannya cerita, sejalan dengan norma dan etika yang dianut Ki Dalang. Dalang yang kaya akan sanggit dapat menggali pesan moral dari adegan-adegan wayang, sehingga peran wayang sebagai tuntunan benar-benar berjalan. Sedangkan dalang yang miskin sanggit hanya akan menyampaikan cerita tanpa menggali atau menyampaikan nilai moral dan filsafat yang terkandung di dalamnya.
6.
Penguasaan bahasa dan pengetahuan umum
7.
Pesan dan Kritik
8.
Membaca dan mengarahkan selera publik
9.
Menguasai pakem
Dalam pewayangan ada pakem-pakem tertentu yang harus diikuti oleh dalang. Bukan
berarti dalang tidak boleh berimprovisasi, namun demikian ada hal-hal tertentu
yang sudah merupakan hal-hal yang dibakukan. Menurut pengamatan Bapak Sujamto,
pembakuan tersebut meliputi tata gendhing dan irama gamelan, tata urutan
penyajian adegan, pembakuan jalan cerita, pembakuan watak, pembakuan bentuk
wayang, pembakuan etika wayang, pembakuan simbol-simbol pokok, pembakuan suluk,
dan arahan terhadap aspek-aspek tertentu.
Dalam hal pembakuan bentuk watak, terdapat beberapa dalang yang kurang tepat
menjelaskan karakter suatu tokoh wayang, sehingga gambaran tokoh wayang tersebut
menjadi kurang tepat. Contohnya adalah karakter Bhagawan Drona. Sebenarnya tokoh
Bhagawan Drona adalah tokoh yang baik dan bijaksana, namun penggambaran yang
kurang tepat maka ia digambarkan menjadi tokoh yang licik. Yang menjadi masalah
adalah kalau dalang yang melakukan penggambaran tersebut adalah dalang yang
populer, maka penggambaran ini akan menyebar luas dan diikuti dalang-dalang muda.
Contoh lain adalah penggambaran Dewi Kunthi. Meskipun pandangan ini tidak banyak,
namun terdapat pandangan bahwa Dewi Kunthi adalah wanita yang memiliki perilaku
tidak baik, karena ia telah melahirkan putera pertamanya tanpa suami. Terhadap
pendapat-pendapat tersebut Bapak Sujamto menyampaikan sendiri penilaiannya
terhadap Dewi Kunthi, bahwasanya Dewi Kunthi adalah seorang wanita yang sangat
mulia. Bahwasanya ia melahirkan puteranya tanpa suami adalah karena ia mendapat
berkah dari Dewa Surya, yang sama sekali tanpa melalui hubungan badan.
Sebagai
penutup tulisan ini, berikut adalah kutipan kisah Dewi Kunthi yang dituturkan
Bapak Sujamto dalam buku ini.
* * *
Kunthi adalah sekar kedhaton (putri raja) mandura, anak Prabu Kuntiboja,
yang dalam pewayangan Jawa mempunyai 4 orang anak, yaitu Basudewa (yang
menurunkan Baladewa dan Kresna), Dewi Kunthi, Haryaprabu Rukma (paman dan mertua
Kresna) dan Raden Ungrasena (ayah Setyaki).
Pada waktu masih gadis remaja, Kunthi sering ditugaskan oleh ayahnya
untuk melayani keperluan-keperluan Rsi Druwasa, pendeta istana Mandura dan
sahabat ayahnya. Rsi Druwasa amat terkesan dan puas sekali atas layanan-layanan
Dewi Kunthi. Dan sebagai seorang pendeta yang telah tinggi tataran ilmunya, ia
bisa mengetahui nasib malang yang akan menimpa bakal suami Dewi Kunthi kelak.
Kemudian Rsi Druwasa memberikan hadiah kepada Kunthi berupa aji pameling, yaitu
sejenis mantra yang dapat digunakan untuk mendatangkan dewa yang dikehendaki;
dan dewa yang didatangkan itu akan memberikan anak kepada yang mendatangkannya.
Dalam pedalangan, aji ini terkadang disebut pula sebagai Aji Kunta Wekasing Rasa
atau nama lain lagi. Dalam Rajagopalachari (1989) disebut sebagai son – giving
mantra.
Karena Mahabharata itu berasal dari India, maka ada baiknya kita
membuka-buka sumber acuan dari sana. Meskipun di India sendiri juga sudah ada
berbagai versi, tetapi setidak-tidaknya itu sudah lebih dekat dari sumbernya.
Marilah kita simak kutipan dari Rajagopalachari sebagai berikut :
(dalam
buku Bapak Sujamto megutip langsung tulisan tersebut dalam bahasa Inggris,
disertai dengan terjemahannya yang diambil dari Mahabharata karya
Nyoman S. Pendit, untuk mempersingkat maka yang akan saya tampilkan disini
adalah terjemahannya saja)
Ketika Kunti Devi masih merupakan gadis kecil, Resi Durvasa pernah
tinggal di rumah ayahnya sebagai tamu dan Kunti Devi melayani rsi tersebut
selama satu tahun dengan penuh perhatian, kesabaran dan kebaktian. Resi itu
merasak sangat puas akan kebaktian Kunti Devi sehingga ia lalu memberikan mantra
suci. Ia berkata : “Apabila engkau hendak memanggil Dewa yang mana saja mantra
suci ini akan menolong engkau. Ia akan muncul di hadapanmu dan akan memberi
restu agar engkau mempunyai anak yang kebesarannya sama dengan Dia”. Rsi
Durvasa memberikan mantra itu kepadanya, karena ia telah meramalkan dengan
kekuatan yoginya, bahwasanya Kunti Devi akan menemui nasib yang jelek dengan
bakal suaminya di kemudian hari.
Karena ingin tahu dan tidak dapat menahan kesabarannya Kunti Devi lalu
berhasrat untuk mencoba sekali-sekali kekuatan serta akibat mantra tersebut
dengan jalan secara diam-diam mengulangi mantra itu dengan menyebut nama Dewa
Matahari yang dibayangkannya bercahaya-cahanya di sorga. Tiba-tiba langitpun
menjadi gelap gulita penuh dengan kabut tebal, dan dari balik kabut itu menculah
Dewa Matahari mendekati Kunti Devi yang cantik dan berdiri di dekatnya dengan
pandangan kagum dan simpati yang menembus kalbu. Kunti Devi, karena dipengaruhi
kekuatan gaib dan penglihatan yang agung serta suci dari tamunya, lalu berkata :
Oh Dewa, siapakah gerangan engkau ini?”
Dewa Matahari menjawab : “Wahai Juwita, aku ini adalah matahari. Aku
telah ditarik oleh kekuatan gaib mantra yang engkau ucapkan untuk memanggil aku”.
Kunti Devi dengan perasaan sangat kaget dan gembira berkata : “Aku
adalah gadis kecil yang masih ada di bawah pengawasan ayahku. Aku belum dan
tidak patut untuk menjadi Ibu dan tidak pernah memimpikan hal tersebut. Aku
hanya ingin mencoba kekuatan mantra yang telah diberikan oleh Rsi Druvasa.
Kembalilah dan maafkanlah kedunguanku yang kekanak-kanakkan ini”. Tetapi Dewa
Matahari tidak bisa kembali karena kekuatan gaib mantra itu menahan dia,
sedangkan Kunthi Devi merasa cemas setengah mati kalau-kalau kelak dihinakan
oleh seluruh dunia. Namun demikian Dewa Matahari meyakinkannya :
“Tidak akan ada hinaan terhadap dirimu, karena setelah melahirkan
anakku engkau akan kembali menjadi perawan suci sebagai semula”.
Kunti Devi pun mengandunglah dengan rakhmat Dewa Matahari yang memancarkan
cahaya dan memberi hidup kepada dunia. Dan kelahiran suci dari anaknya tibalah
seketika itu juga tidak sebagai kelahiran manusia biasa yang dikandung selama
kurang lebih sembilan bulan. Kunti Devi melahirkan Karna yang muncul dengan alat
persenjataan perang suci serta anting-anting bercahaya-cahaya indah seperti
matahari. Karena inilah yang kelak menjadi pahlawan terbesar di dunia. Kunti
Devi setelah melahirkan karna menjadi perawan suci lagi akibat dari kekuatan
gaib yang diberikan oleh Dewa Matahari.
Dari kutipan tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa pertemuan Kunti
dengan Dewa Matahari (atau Bathara Surya dalam pewayangan Jawa) sama sekali
tidak mengandung bau-bau asmara, apalagi seks.
Hubungan dengan Bathara Surya-Kunthi adalah proses gaib yang penuh dengan
lambing-lambang. Kelahiran Karna adalah kelahiran gaib. Bukan kelahiran biasa.
Dan ratio manusia memang tak akan mampu menggapai hal-hal yang bersifat gaib.
Ratio memang bukan alat untuk itu. Ratio manusia memang telah berhasil
meningkatkan ilmu dan tehnologi ke tingkat yang lumayan seperti sekarang ini dan
telah berhasil pula menyingkap misteri alam dengan hukum-hukumnya yang diciptakan
oleh Tuhan. Tetapi itu semua barulah sebagian amat kecil dari rahasia ciptaan
Tuhan yang Mahabesar ini. (catatan penulis – menurut hemat saya, ratiopun bisa
menjangkau hal-hal yang “bersifat gaib”. Kita menyebut gaib, karena
kebetulan pengetahuan kita saat ini belum mencapai hal tersebut. Namun, begitu
pengetahuan kita sudah mencapainya, hal itu tidak lagi disebut gaib lagi. Sebagai
contoh, “hal gaib” yang dimaksud Bapak Sujamto disini, yaitu Dewi Kunti
dapat hamil tanpa ada pihak kedua yang membuahi, sekarang hal ini sudah bukan hal
gaib lagi. Baru-baru ini seorang ilmuwan wanita dari Australia mengadakan
eksperimen melalui tikus. Dengan eksperimen tersebut ia membuktikan bahwa
kehamilan dapat terjadi tanpa perlu pihak kedua (sang bapak). Dengan menggunakan
unsur-unsur di tubuh si tikus sendiri, tikus tersebut dapat hamil. Namun
percobaan ini belum dilakukan terhadap manusia.)
Persoalan lain yang sering memberatkan penilaian orang terhadap Dewi Kunti
adalah tentang dilarungnya Karna. Ini yang menimbulkan anggapan bahwa Dewi Kunti
itu kejam dan suka menganiaya anak. Anggapan seperti itu adalah keliru. Memang,
sebagai seorang gadis remaja, Kunti merasa takut dan kebingungan dengan lahirnya
Karna. Tetapi Resi Druwasa menyelesaikan persoalan itu dengan baik. Sebagai
seorang pendeta yang berilmu tinggi, ia dapat mengetahui bahwa semua yang
terjadi di dunia ini terjadi atas kehendak Tuhan. Manungsa among saderma
nglakoni (manusia hanya sekedar menjalani takdir yang telah ditentukan). Ia tahu
bahwa pada saat itu sedang bertapa di tepi sungai Yamuna, seorang raja yang
ditangisi oleh istrinya karena telah sekian tahun tak punya anak. Raja itu
adalah Prabu Radeya dari Petapralaya. Atas usul Resi Druwasa, Karna dilarung ke
sungai Yamuna, karena sesuai dengan takdirnya, Karna
itu sudah pinasthi menjadi anak angkat Radeya. Bagi Radeya, bayi
yang ditemukannya itu adalah anugrah Tuhan, buah hasil permohonannya yang
sungguh-sungguh, selama ia bertapa di tepi sungai Yamuna. Semua kejadian itu
tampaknya serba kebetulan. Dalam bahasa Jawa: ndilalah; tetapi sebenarnya di
alam ini tidak ada kejadian yang kebetulan. Semua sudah dijalin dan dirancang
oleh Perancang Agung, Yang Maha Mengetahui, Gusti Ingkang Maha Wikan. Di
mata manusia, semua terjadi menurut hukum sebab dan akibat, atau hukum ngunduh
wohing panggawe. Semua akan memperoleh hasil sesuai dengan perbuatannya! Dan
kedua dimensi itu selalu bertemu di titik-titik yang telah ditentukan.
Kembali kepada Dewi Kunthi dengan aji pamelingnya. Resi Druwasa
memberikan aji tersebut kepada Dewi Kunthi karena ia tahu melalui kemampuan
gaibnya, bahwa kelak Kunthi memerlukan aji itu untuk mengatasi kesulitan akibat
musibah yang menimpa suaminya. Siapa suami Kunthi dan bagaimana musibah itu?
Setelah menginjak dewasa, Dewi Kunthi sangat termashur kecantikannya dan
keluhuran budinya. Banyak raja dan para ksatria yang ingin mempersuntingnya.
Singkat kata, setelah suatu melalui sayembara, Kunthi berhasil dipersunting dan
menjadi permaisuri Prabu Pandudewanata dari kerajaan Astina. Kemudia Pandu juga
mempersunting Dewi Madrim, adik Raden Narasoma dari kerajaan Mandaraka, yang
setelah menjadi raja bergelar Prabu Salya.
Pada suatu hari Prabu Pandu berburu ke hutan. Tak lama kemudian
dilihatnya sepasang kijang sedang berburu dengan asyiknya. Sebagai pemburu,
Prabu Pandu lantar membidikkan panahnya ke arah kijang jantan. Dan bidikan Prabu
Pandu memang tidak pernah meleset. Dalam sekejap terdengarlah bunyui lengkingan
yang menyayat dan mengharukan. Kijang jantan yang sebenarnya adalah Rsei
Kimindana, pendeta yang sedang menyamar dan bercengkerama dengan istrinya itu
mati seketika dan lenyap dengan raganya serasa meninggalkan sumpah kepada Pandu
sebagai berikut :
"Hai Prabu Pandu, kau raja yang tidak berperikemanusiaan, tak tahu sopan
santun. Senang mengganggu ketenteraman orang lain. Oleh karena itu hati-hatilah,
di kala engkau sedang bercumbu rayu dengan istrimu, disitulah sampai ajalmu.
Kemudian ketahuilah hai Pandu, kau telah membunuh seorang Brahmana tanpa dosa,
tunggulah saatnya tiba."
Tentu saja Pandu amat menyesal dan bersedih hati. Menyesal atas
perbuatannya yang tidak hati-hati sehingga merugikan orang lain. Bersedih hati
karena dengan kutukan itu berarti seumur hidup ia tak mungkin melakukan hubungan
seperti layaknya suami dengan istrinya, yang berarti juga tak mungkin lagi ia
memperoleh keturunan.
Merasakan kepedihan suaminya yang amat sangat itu Dewi Kunthi
menceritakan kepada Pandu tentang aji pameling pemberian Resi Druwasa. Kemudian
Dewi Kunthi mengusulnkan kepada suaminya untuk mengupayakan anak melalui
kelahiran-kelahiran gaib atas rakhmat dewa-dewa yang dikehendakinya. Pandu
menyetujui usul itu, bahkan menghendaki agar kelahiran gaib itu terjadi pula
melalui Dewi Madrim. Maka lahirlah berturut-turut dari rahim Dewi Kunthi :
Puntadewa atas rakhmat Sang Hyang Dharma, dewa kebajikan ; kemudian Bima atau
Bratasena atau Wekudara atas rahmat Bathara Bayu, dewa angin; dan yang ketiga
adalah Arjuna atau Permadi atas rahmat Bathara Endra, dewa angkasa raya, lambing
dari sifat yang sempurna dan gagah berani; dan dari Dewi Madrim lahir sekaligus
(kembar) Nakula dan Sadewa atas rahmat dewa kembar Aswin. Kelima anak laki-laki
itulah yang disebut Pandawa, yang berarti keturunan Pandu.
Syahdan, sebagai seorang laki-laki biasa, Pandu yang memang amat
mencintai kedua istrinya itu akhirnya tak dapat membendung hasratnya untuk dapat
memadu kasih dengan Dewi Madrim. Dan pada saat itu pula terjadilah apa yang
telah dikutukan kepada Pandu oleh Resi Kimindana.
Dari kisah-kisah tadi dan lebih-lebih kisah-kisah kelanjutannya dalam
mengasuh kelima anaknya yang telah ditinggal oleh suami dan Dewi Madrim,
terbukti bahwa Kunthi adalah profil seorang ibu yang berbudi luhur, penuh kasih
sayang kepada anak-anaknya (termasuk kedua anak tirinya) dan kepada sesama,
serta tabah dalam menghadapi setiap keadaan, dilandasi sikap yang percaya penuh
terhadap keadilan dan kekuasaan Yang Maha Agung.
Demikianlah gambaran sekilas tentang Dewi Kunthi. Pada akhir cerita Bapak
Sujamto menyampaikan bahwa beliau tidak menganggap bahwa versi yang
ditampilkannya yang paling benar. Banyak memang versi-versi lain yang
berbeda-beda. Dan tentu saja kita bebas menentukan pendapat dan pilihan. Namun
demikian, dalam hubungan ini beliau mengajak agar kita memilih versi yang
mempunyai sumber acuan yang kuat dasarnya dan yang paling bermanfaat bagi
khalayak ramai untuk dikembangkan. Apalagi kalau kita ingat bahwa wayang
bukanlah sekedar tontonan tapi juga tuntunan.
Akhir kata, terima kasih telah membaca resensi buku Wayang dan Budaya Jawa. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
Akhir kata, terima kasih telah membaca resensi buku Wayang dan Budaya Jawa. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
( tulisan ini pernah saya tampilkan juga di
http://www.oocities.org/tirtayatra/wayang_budaya_jawa.htm )