Minggu, 02 Januari 2011

Yadnya

Dulu saya sering bertanya mengapa yadnya diartikan sebagai pengorbanan. Bukankah yadnya adalah suatu persembahan? Bukankah suatu persembahan harus didasari oleh rasa senang, ikhlas, dan syukur? Mengapa yadnya, yang merupakan suatu persembahan, diartikan sebagai pengorbanan, suatu kata yang memiliki kesan adanya keterpaksaan dan rasa sakit?


Beberapa tahun telah berlalu, dan saya tidak pernah lagi memikirkan pertanyaan ini sampai saya mendengar ceramah John Maxwell. John Maxwell adalah seorang pembicara dari Amerika, mungkin seperti Mario Teguh atau Andrie Wongso nya Amerika. Dalam ceramah itu John Maxwell tidak berbicara mengenai yadnya, pengorbanan ataupun persembahan, namun mengenai tanggung jawab seorang pemimpin untuk berubah. Ada satu kalimat dalam ceramah tersebut yang saya anggap sebagai jawaban atas pertanyaan saya. Kalimat tersebut adalah “apabila perubahan yang Anda lakukan tidak menyakitkan, maka itu bukan perubahan


Dalam ceramah itu John Maxwell mengingatkan agar kita tidak berharap adanya perubahan dalam hidup jika kita hanya melakukan hal-hal yang memang sudah selalu kita lakukan. Untuk merubah hidup kita menjadi lebih baik maka kita harus melakukan hal-hal baru yang lebih baik. Untuk menjaga kesehatan, kita harus mulai membiasakan diri bangun pagi dan berolahraga, untuk menjadi pintar kita harus mulai membiasakan diri belajar, untuk berpikir baik kita harus mulai melatih diri berpikir yang baik. Intinya adalah, untuk merubah hidup kita menjadi lebih baik maka kita harus merubah kebiasaan kita, dan itu menyakitkan. Apabila perubahan yang kita lakukan itu tidak menyakitkan, maka itu sebenarnya bukan perubahan.


Apa hubungan ceramah John Maxwell dengan yadnya?


Meskipun John Maxwell tidak menghubungkan ceramahnya dengan masalah kerohanian, sebenarnya apa yang disampaikannya sangat berkaitan dengan masalah kerohanian. Manusia yang ideal menurut agama Hindu adalah manusia yang dalam Bhagawad Gita disebut sebagai sthita prajna, manusia yang tidak terombang ambing oleh suka dan duka, dan mempersembahkan kegiatannya kepada Tuhan. Untuk menjadikan seluruh kegiatan kita sebagai persembahan kepada Tuhan, maka kita harus melakukan yadnya atau pengorbanan atas sifat-sifat buruk kita.


Selama kita masih memegang sifat-sifat buruk itu maka kita tidak dapat menjadi sthita prajna. Sifat-sifat buruk itu kita kenal sebagai Sad Ripu, yaitu nafsu yang tidak terkendali, tamak, marah, mabuk, bingung, dan dengki. Upaya melepaskan sad ripu atau sifat-sifat buruk itu membutuhkan usaha dan perjuangan yang sangat besar dan konsisten, yang tentu saja menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman. Upaya itulah yang merupakan yadnya, atau pengorbanan. Disinilah saya merasa penjelasan John Maxwell mengenai perubahan juga berlaku bagi yadnya. Untuk memperoleh kemuliaan dalam hidup dibutuhkan pengorbanan atau yadnya.


Bagi orang yang berperilaku tenang, satwik dan damai, mungkin mudah untuk mengorbankan rasa marah. Namun bagi seorang pemarah, adalah sangat berat untuk mengorbankan rasa marah. Rasa marah memberikan kenikmatan tersendiri, sehingga meskipun kita semua tahu marah tidak baik, namun seorang pemarah sulit sekali melepaskan keterikatannya pada rasa marah. Dibutuhkan kerelaan, kemauan dan tindakan nyata untuk mengorbankan rasa marah. Mengorbankan rasa marah tidak sama dengan memendam marah. Mengorbankan rasa marah adalah menghilangkan rasa marah, baik dengan melepas beban yang menimbulkan rasa marah atau dengan merubah energi marah menjadi energi yang sifatnya kreatif. Apabila seseorang bersedia dan dapat mengorbankan rasa marahnya, maka ia telah melakukan langkah yang sangat besar untuk menjadi pribadi ideal yang digambarkan dalam Bhagawad Gita.


Bagi seorang yang rajin, mungkin mudah untuk melawan rasa malas. Tapi bagi seorang pemalas, sangat sulit untuk mengorbankan sedikit waktu tidurnya. Dibutuhkan tekad dan kemauan yang besar untuk memulai kebiasaan bangun pagi dan berolah raga. Kita harus melawan rasa kantuk, meninggalkan nikmatnya sentuhan lembut kasur dan guling, dan menuju kamar mandi untuk merasakan dinginnya air di pagi hari. Perjuangan melawan rasa malas itu merupakan yadnya atau pengorbanan.


Bagi seorang yang hatinya terbuka, mungkin mudah untuk melepas rasa dengki. Namun bagi seseorang yang sudah biasa berperilaku dengki, akan sangat sulit melepas kebiasaan itu. Terlebih lagi apabila lingkungannya dipenuhi oleh orang-orang yang juga berpikir dengki. Tapi apabila kita ingin menjadi sthita prajna, ingin menjadi pribadi yang lebih baik, ingin mempersembahkan kegiatan kita untuk Tuhan, maka kita harus rela melepas rasa dengki ini. Itulah pengorbanan yang harus kita lakukan. Kita tidak bisa memiliki rasa dengki dan rasa syukur pada saat yang bersamaan. Apabila kita ingin menjadi pribadi yang bersyukur, maka kita harus ikhlas melepas rasa dengki kita.


Bagi seseorang yang sejak awal memiliki komitmen untuk menyelesaikan masalah, mungkin mudah untuk tidak bingung. Namun tidak sedikit dari kita yang seringkali justru menikmati rasa bingung dan berputar-putar tanpa berusaha mencari solusi. Seringkali kita tidak mencari akar permasalahan namun justru melepaskan tanggung jawab menyelesaikan masalah dengan mencari kambing hitam atau terus mengeluh. Untuk menjadi pribadi yang lebih baik, untuk menjadi sthita prajna, kita harus rela melepas semua kebingungan kita dan mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah kita.


Upaya-upaya di atas tidak mudah dan seringkali menyakitkan. Karena itulah disebut dengan pengorbanan. Itulah yadnya yang harus dilakukan dalam rangka membuat hidup kita menjadi lebih baik, menjadi persembahan kepada Tuhan.


Jawaban atas pertanyaan saya juga datang dari Mahatma Gandhi. Saat itu saya sedang membaca Harus Bisa, sebuah buku kepemimpinan รก la SBY karangan Dino Patti Djalal. Dalam satu kunjungannya ke India, SBY melihat pahatan kata-kata Gandhi yang berjudul 7 dosa sosial. Salah satu dari 7 dosa sosial tersebut adalah worship without sacrifice, atau pemujaan tanpa pengorbanan. Tiba-tiba saya teringat dengan kata-kata salah seorang sahabat saya bahwa dalam Agama Hindu kita tidak diwajibkan bersembahyang secara ketat, namun cukup bersembahyang apabila sedang mood untuk bersembahyang. Saat mendengar kata-kata itu saya cenderung setuju, namun setelah membaca bahwa worship without sacrifice adalah salah satu dosa sosial, maka saya tidak lagi setuju dengan pendapat teman saya itu. Sembahyang menjadi bermakna jika dilakukan dengan komitmen, mengorbankan rasa malas dan segan, sehingga tidak bisa dilakukan hanya pada saat sedang mood. Pada saat kita bersembahyang dengan komitmen seperti itulah maka ia disebut yadnya.


Dari semua itu saya menyimpulkan bahwa untuk dapat disebut yadnya maka suatu kegiatan tidak dapat dikerjakan hanya dengan sekedarnya. Yadnya adalah suatu persembahan, oleh karena itu harus terdapat upaya yang serius agar persembahan itu menjadi bermakna. Seperti moto propinsi Jawa Timur “Jer basuki mawa bea”, yang artinya “untuk berhasil diperlukan biaya”, maka untuk mencapai kesuksesan atau kebahagiaan diperlukan biaya atau pengorbanan.


Jadi benar bahwa yadnya merupakan suatu persembahan, tetapi juga benar bahwa yadnya merupakan suatu pengorbanan. Dua hal ini tidak bertentangan karena pengorbanan yang dilakukan dalam persembahan bukanlah pengorbanan yang membawa kesedihan, namun justru pengorbanan yang membawa kemuliaan dan kebahagiaan.



I Made B. Tirthayatra, Majalah Vidya Parampara Vol. 1, tahun 2010

2 komentar:

  1. Om Swastiastu

    Artikel yang menarik dan inspiratif bli made.
    Masalah Yadnya memang masalah yang bersentuhan langsung dengan seluruh umat Hindu. Lebih-lebih dengan umat Hindu di Bali khususnya. Di Bali, Yadnya memang selalu diidentikkan dengan pengorbanan. Melakukan upacara, mengorbankan binatang, membakar sejumlah uang bolong, menghaturkan bebantenan yang seolah-olah yang dikorbankan adalah individu lain diluar dirinya sendiri.

    Sebagaimana juga pernah saya singgung di beberapa forum, pada saat ada korban suci penyemblihan binatang di Pura, seorang anak kecil bertanya kepada ayahnya. Yah, kenapa binatang itu di bunuh? Ayahnya menjawab bahwa binatang itu dijadikan korban suci demi kesejahtraan mahluk hidup di dunia dan agar roh binatang itu mencapai sorga. Sontak sang anak kecil itu berkata; Kenapa bukan pak mangkunya atau manusia yang lain aja yang dikorbankan agar bisa masuk sorga?
    Sebuah pertanyaan yang kritis yang mempertanyakan esensi dari yadnya itu sendiri.

    Dikaitkan dengan kejadian tersebut, saya sangat sependapat dengan yadnya yang bli made sampaikan dalam artikel ini. Yang menjadi objek korban seharunya memang apa yang ada dalam diri kita, bukan mengorbankan individu lainnya. Dalam Bhagavad Gita 18.17 Sri Krishna mengatakan bahwa orang yang mempelajari percakapan dalam Gita adalah merupakan korban suci yang cerdas. Begitu juga dalam Bhagavad Gita 4.28 dikatakan bahwa pertapaan adalah korban suci untuk maju dalam pengetahuan rohani. Dan lebih lanjut dalam Bhagavad Gita 4.29 dikatakan pengendalian nafas termasuk korban suci. Dan korban suci yang paling utama menurut Bhagavad Gita 10.25 adalah korban suci mengucapkan nama-nama suci Tuhan lewat japa.

    Paragraf ke 2 dari terakhir saya juga sangat setuju. Dalam garis perguruan Vaisnava, dikatakan bahwa sembahyang dalam ajaran Veda bukanlah usaha kita mendapatkan pahala, tetapi sebuah usaha pembelajaran agar kita selalu ingat dan tidak lupa kepada Tuhan. Karena kita sedang belajar, maka kita harus berusaha keras melawan mood dan kemalasan kita.

    Salam,-

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas komentarnya Ngarayana.

    BalasHapus