Selasa, 11 Januari 2011

Resensi Buku: Sabda Pandhita Ratu

Penulis ; Ir. Sujamto
Penerbit ; Dahara Prize, Bandung
Cetakan keenam tahun 2000


Buku ini ditulis oleh alm. Bapak Sujamto, wakil Gubernur Jawa Tengah tahun 1990 an. Beliau adalah seorang pecinta budaya Jawa yang sangat kreatif menulis. Lewat tutur bahasa yang sangat menarik beliau menulis buku-buku yang memuaskan dahaga banyak orang akan nilai-nilai filsafat Jawa .

Buku Sabda Pandhita Ratu adalah salah satu buku beliau yang sarat dengan nilai-nilai budaya Jawa. Sabda Pandhita Ratu berarti seorang pemimpin haruslah konsekwen melaksanakan apa yang dikatakannya. Seorang pemimpin yang melaksanakan hal ini dalam bahasa Jawa dinyatakan sebagai pemimpin yang memiliki sifat bawalaksana.

Dalam filsafat Jawa, seorang pemimpin harus memiliki sifat bawalaksana disamping sifat-sifat baik lainnya. Ini tercermin dalam ungkapan yang sering diucapkan ki dalang dalam setiap lakon wayang, yang berbunyi : dene utamaning nata, ber budi bawalaksana (sifat utama bagi seorang raja adalah bermurah hati dan teguh memegang janji).

Dalam mengulas bawalaksana Bapak Sujamto menyajikan berbagai contoh dari dunia pewayangan. Hal ini dikarenakan beliau berpendapat bahwa etika dan filsafat Jawa secara umum terjabarkan dan tersimpan dengan baik dalam kisah pewayangan. Hal ini dinyatakan dalam pengantarnya sebagai berikut; “Bahwa saya mengukur etika Jawa dari peristiwa-peristiwa dalam dunia pewayangan (baik yang bersumber dari Ramayana maupun dari Mahabarata), itu memang berangkat dari anggapan saya bahwa dasar-dasar etika dan filsafat Jawa pada umumnya terjabarkan dengan baik dan tersimpan dengan baik pula dalam dunia pewayangan.

Lebih lanjut Bapak Sujamto menyatakan bahwa pada dunia pewayangan, sifat bawalaksana itu mempunyai nilai yang sangat tinggi, sehingga ia harus dimenangkan apabila terpaksa berbenturan dengan nilai-nilai lain, termasuk nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Contoh unik yang ditampilkan beliau untuk menggambarkan hal ini adalah diperistrinya Dewi Drupadi oleh kelima Pandawa. Suatu hari ketika sedang hidup di tengah hutan, Dewi Kunthi (ibu para pandawa) menugaskan Arjuna untuk mencari makanan bagi saudara-saudaranya. Ternyata Arjuna bukan saja berburu mencari makan namun sempat pula mengikuti sayembara di negeri Pancala dan pulang dengan memboyong Dewi Drupadi. Ketika Arjuna sampai di depan depan pondoknya bersama Drupadi, ia memanggil Ibunya dari luar. Mengetahui kedatangan Arjuna, Dewi Kunthi segera bersabda "Arjuna, kami semua telah lama menunggumu.Terutama adik-adikmu Nakula dan Sadewa telah amat menderita karena lapar. Oleh karena itu, bagilah segera dengan adil apa yang kau bawa itu untuk kamu berlima." Alangkah terkejutnya Dewi Kunthi setelah mengetahui bahwa Arjuna membawa Drupadi. Tapi kata telah terucapkan dan tak dapat ditarik lagi. Maka jadilah Drupadi sebagai istri Pandawa bersaudara. Mengenai hal ini, mungkin kita akan berpikir, bukankah Dewi Kunthi dapat meralat kembali kata-katanya. Tentu saja Dewi Kunthi dapat meralat kata-katanya setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Dan seandainya Dewi Kunthi berbuat demikian, tidak seorangpun yang dirugikan. Tetapi Dewi Kunthi tidak meralat kata-katanya. Menurut norma yang berlaku pada waktu itu, sesanti sabda pandhita ratu tan kena wola-wali adalah prinsip yang dimutlakkan. Juga seandainya ia harus bertabrakan dengan prinsip-prinsip lain seperti keadilan, kewajaran, kelaziman dan bahkan kebenaran.

Kisah mengenai Dewi Drupadi tersebut adalah salah satu contoh dijunjung tingginya prinsip bawalaksana. Masih banyak lagi contoh-contoh lain yang disajikan dalam Sabda Pandhita Ratu ini, baik yang teguh melaksanakan prinsip bawalaksana seperti kisah mengenai Prabu Sentanu, Rama, Dewi Durgandini, Bisma, Yudhistira, Adipati Karna dan lainnya, maupun yang tidak melaksanakannya, seperti Sumantri, Begawan Wisrawa, dsb.

Sebagai penutup berikut ini, saya salinkan lagi satu kisah yang disajikan dengan baik sekali oleh Bapak Sujamto dalam bukunya untuk menggambarkan keteguhan dalam melaksanakan prinsip Bawalaksana. Kisah ini adalah bagian dari epik Ramayana.

* * *
Kisah diusirnya Sri Rama dari kerajaan Ayodya menjelang saat-saat penobatannya sebagai raja menggatikan ayahnya (Prabu Dasarata), adalah akibat etika bawalaksana yang harus dijunjung tinggi oleh Prabu Dasarata sebagai seorang raja yang baik.

Tak seorangpun sebenarnya yang meragukan ketepatan dan kearifan Prabu Dasarata yang berniat menunjuk Sri Rama menggantikan dirinya sebagai raja Ayodya. Ditinjau dari segala segi, keputusan itu adalah yang paling baik. Sri Rama bukan saja sebagai anak tertua di antara keempat anak Prabu Dasarata (Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna), tetapi ia juga yang paling pandai, paling bijaksana dan paling banyak pengalamannya serta lahir dari istri pertama Prabu Dasarata, yakni Dewi Ragu atau Dewi Sukasalya. Ia bahkan diyakini sebagai avatara Wisnu (dalam pewayangan Jawa disebut sebagai titising Bathara Wisnu). Akan tetapi pada malam hari menjelang hari penobatan Rama, tiba-tiba Prabu Dasarata diingatkan oleh seorang istrinya, yakni Dewi Kekeyi (ibu Bharata), bahwa Prabu Dasarata pernah berjanji kepadanya bahwa anak Dewi Kekeyilah yang kelak akan menggantikannya sebagai raja Ayodya.

Sudah barang tentu Prabu Dasarata sangat terpukul dengan kenyataan itu. Janji itu memang betul pernah beliau ucapkan jauh di waktu yang telah lampau pada saat beliau belum mempunyai keturunan dari istrinya yang pertama. Sebagai seorang raja yang baik, janji itu hanya diketahui oleh dirinya dan Dewi Kekeyi saja, tidak ada orang lain yang menyaksikannya.

Dengan hati yang hancur luluh, malam itu juga beliau memanggil Sri Rama untuk memberitahukan masalah ini. Dan sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tua, Sri Rama dengan tulus menyarankan kepada ayahnya untuk memenuhi janji itu. Adalah aib besar bagi seorang raja mengingkari janji yang pernah diucapkannya. Biarlah Bharata yang menggantikan ayahnya sebagai raja Ayodya (meskipun Bharata sendiri sebenarnya sangat enggan menerima itu dan tetap mengharap Sri Rama yang menjadi raja). Bukan hanya itu, Sri Rama juga tulus ikhlas memenuhi permintaan Dewi Kekeyi untuk meninggalkan kerajaan Ayodya dan hidup di hutan Dandaka selama 14 tahun lamanya.

Demikianlah dengan hati yang amat pilu, Prabu Dasarata terpaksa membuat keputusan yang tidak sesuai dengan norma-norma keadilan dan kebenaran dan merelakan anaknya yang sangat disayangi untuk hidup dalam penderitaan di hutan Dandaka (ditemani oleh Dewi Sinta, istrinya, dan Laksmana, adik dari lain ibu). Semuanya itu terpaksa dilakukan karena seorang raja yang baik harus bawalaksana. Ia memang bisa mengingkari semua itu tanpa konsekwensi apapun kecuali satu, yakni runtuhnya satu norma yang harus dijunjung tinggi oleh seorang raja, yaitu bawalaksana! Dan keruntuhan norma ini baginya hanyalah berakibat pencemaran nama. Tapi bagi khalayak ramai dan bagi sejarah kerajaan Ayodya, keruntuhan itu sebenarnya memang suatu bencana besar. Bagaimana rakyat Ayodya dapat mengharapkan hari depan yang cerah jika dipimpin oleh seorang raja yang esuk dhele sore tempe (pagi kedelai sore tempe) artinya, kata-katanya tidak dapat dipegang. Karena itulah, dengan hati yang hancur berkeping-keping, dan akhirnya segera wafat karena penderitaan batin, Prabu Dasarata konsekwen memenuhi janjinya.

Bukan hanya Prabu Dasarata, juga Sri Rama sendiri memberikan contoh yang baik tentang sifat dan sikap bawalaksana yang harus dijunjung tinggi oleh setiap manusia, terutama para pemimpin.

Pada waktu Bharata menyusul Sri Rama ke hutang Dandaka dan dengan sungguh-sungguh memaksanya agar mau kembali ke Ayodya sebagai raja, Sri Rama tidak dapat memenuhi permintaan adiknya itu karena ia telah menyanggupi, yang berarti juga telah berjanji untuk hidup di hutan Dandaka selama 14 tahun lamanya. Jadi, apabila Sri Rama memenuhi permintaan Bharata, hal itu berarti bahwa ia telah mengingkari janji dan bahkan secara tidak langsung telah menyebabkan ayahnya pun tidak memenuhi janjinya kepada Dewi Kekeyi. Pengingkaran janji seorang raja adalah bencana bagi rakyatnya. Bagi Sri Rama, pantang untuk kembali ke Ayodya sebelum masa 14 tahun itu terpenuhi.

Untuk meringankan beban lahir dan batin bagi Bharata dalam memimpin kerajaan Ayodya, karena Bharata sudah bertekad tidak mau menggantikan Sri Rama menjadi raja, maka secara simbolik Sri Rama memberikan trumpahnya sebagai manifestasi dirinya di singgasana kerajaan Ayodya dan secara realistik ia memberikan petuah-petuah dan ajaran kepemimpinan yang kemudian dikenal sebagai Asta Brata.

***
Demikian sekilas mengenai buku Sabdha Pandhita Ratu. Terimakasih atas perhatian teman-teman membaca tulisan ini. Jenang sela wader pari sesondheran, apuranta yen wonten lepat kawula. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan baik yang saya sengaja maupun tidak.

Minggu, 02 Januari 2011

Yadnya

Dulu saya sering bertanya mengapa yadnya diartikan sebagai pengorbanan. Bukankah yadnya adalah suatu persembahan? Bukankah suatu persembahan harus didasari oleh rasa senang, ikhlas, dan syukur? Mengapa yadnya, yang merupakan suatu persembahan, diartikan sebagai pengorbanan, suatu kata yang memiliki kesan adanya keterpaksaan dan rasa sakit?


Beberapa tahun telah berlalu, dan saya tidak pernah lagi memikirkan pertanyaan ini sampai saya mendengar ceramah John Maxwell. John Maxwell adalah seorang pembicara dari Amerika, mungkin seperti Mario Teguh atau Andrie Wongso nya Amerika. Dalam ceramah itu John Maxwell tidak berbicara mengenai yadnya, pengorbanan ataupun persembahan, namun mengenai tanggung jawab seorang pemimpin untuk berubah. Ada satu kalimat dalam ceramah tersebut yang saya anggap sebagai jawaban atas pertanyaan saya. Kalimat tersebut adalah “apabila perubahan yang Anda lakukan tidak menyakitkan, maka itu bukan perubahan


Dalam ceramah itu John Maxwell mengingatkan agar kita tidak berharap adanya perubahan dalam hidup jika kita hanya melakukan hal-hal yang memang sudah selalu kita lakukan. Untuk merubah hidup kita menjadi lebih baik maka kita harus melakukan hal-hal baru yang lebih baik. Untuk menjaga kesehatan, kita harus mulai membiasakan diri bangun pagi dan berolahraga, untuk menjadi pintar kita harus mulai membiasakan diri belajar, untuk berpikir baik kita harus mulai melatih diri berpikir yang baik. Intinya adalah, untuk merubah hidup kita menjadi lebih baik maka kita harus merubah kebiasaan kita, dan itu menyakitkan. Apabila perubahan yang kita lakukan itu tidak menyakitkan, maka itu sebenarnya bukan perubahan.


Apa hubungan ceramah John Maxwell dengan yadnya?


Meskipun John Maxwell tidak menghubungkan ceramahnya dengan masalah kerohanian, sebenarnya apa yang disampaikannya sangat berkaitan dengan masalah kerohanian. Manusia yang ideal menurut agama Hindu adalah manusia yang dalam Bhagawad Gita disebut sebagai sthita prajna, manusia yang tidak terombang ambing oleh suka dan duka, dan mempersembahkan kegiatannya kepada Tuhan. Untuk menjadikan seluruh kegiatan kita sebagai persembahan kepada Tuhan, maka kita harus melakukan yadnya atau pengorbanan atas sifat-sifat buruk kita.


Selama kita masih memegang sifat-sifat buruk itu maka kita tidak dapat menjadi sthita prajna. Sifat-sifat buruk itu kita kenal sebagai Sad Ripu, yaitu nafsu yang tidak terkendali, tamak, marah, mabuk, bingung, dan dengki. Upaya melepaskan sad ripu atau sifat-sifat buruk itu membutuhkan usaha dan perjuangan yang sangat besar dan konsisten, yang tentu saja menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman. Upaya itulah yang merupakan yadnya, atau pengorbanan. Disinilah saya merasa penjelasan John Maxwell mengenai perubahan juga berlaku bagi yadnya. Untuk memperoleh kemuliaan dalam hidup dibutuhkan pengorbanan atau yadnya.


Bagi orang yang berperilaku tenang, satwik dan damai, mungkin mudah untuk mengorbankan rasa marah. Namun bagi seorang pemarah, adalah sangat berat untuk mengorbankan rasa marah. Rasa marah memberikan kenikmatan tersendiri, sehingga meskipun kita semua tahu marah tidak baik, namun seorang pemarah sulit sekali melepaskan keterikatannya pada rasa marah. Dibutuhkan kerelaan, kemauan dan tindakan nyata untuk mengorbankan rasa marah. Mengorbankan rasa marah tidak sama dengan memendam marah. Mengorbankan rasa marah adalah menghilangkan rasa marah, baik dengan melepas beban yang menimbulkan rasa marah atau dengan merubah energi marah menjadi energi yang sifatnya kreatif. Apabila seseorang bersedia dan dapat mengorbankan rasa marahnya, maka ia telah melakukan langkah yang sangat besar untuk menjadi pribadi ideal yang digambarkan dalam Bhagawad Gita.


Bagi seorang yang rajin, mungkin mudah untuk melawan rasa malas. Tapi bagi seorang pemalas, sangat sulit untuk mengorbankan sedikit waktu tidurnya. Dibutuhkan tekad dan kemauan yang besar untuk memulai kebiasaan bangun pagi dan berolah raga. Kita harus melawan rasa kantuk, meninggalkan nikmatnya sentuhan lembut kasur dan guling, dan menuju kamar mandi untuk merasakan dinginnya air di pagi hari. Perjuangan melawan rasa malas itu merupakan yadnya atau pengorbanan.


Bagi seorang yang hatinya terbuka, mungkin mudah untuk melepas rasa dengki. Namun bagi seseorang yang sudah biasa berperilaku dengki, akan sangat sulit melepas kebiasaan itu. Terlebih lagi apabila lingkungannya dipenuhi oleh orang-orang yang juga berpikir dengki. Tapi apabila kita ingin menjadi sthita prajna, ingin menjadi pribadi yang lebih baik, ingin mempersembahkan kegiatan kita untuk Tuhan, maka kita harus rela melepas rasa dengki ini. Itulah pengorbanan yang harus kita lakukan. Kita tidak bisa memiliki rasa dengki dan rasa syukur pada saat yang bersamaan. Apabila kita ingin menjadi pribadi yang bersyukur, maka kita harus ikhlas melepas rasa dengki kita.


Bagi seseorang yang sejak awal memiliki komitmen untuk menyelesaikan masalah, mungkin mudah untuk tidak bingung. Namun tidak sedikit dari kita yang seringkali justru menikmati rasa bingung dan berputar-putar tanpa berusaha mencari solusi. Seringkali kita tidak mencari akar permasalahan namun justru melepaskan tanggung jawab menyelesaikan masalah dengan mencari kambing hitam atau terus mengeluh. Untuk menjadi pribadi yang lebih baik, untuk menjadi sthita prajna, kita harus rela melepas semua kebingungan kita dan mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah kita.


Upaya-upaya di atas tidak mudah dan seringkali menyakitkan. Karena itulah disebut dengan pengorbanan. Itulah yadnya yang harus dilakukan dalam rangka membuat hidup kita menjadi lebih baik, menjadi persembahan kepada Tuhan.


Jawaban atas pertanyaan saya juga datang dari Mahatma Gandhi. Saat itu saya sedang membaca Harus Bisa, sebuah buku kepemimpinan รก la SBY karangan Dino Patti Djalal. Dalam satu kunjungannya ke India, SBY melihat pahatan kata-kata Gandhi yang berjudul 7 dosa sosial. Salah satu dari 7 dosa sosial tersebut adalah worship without sacrifice, atau pemujaan tanpa pengorbanan. Tiba-tiba saya teringat dengan kata-kata salah seorang sahabat saya bahwa dalam Agama Hindu kita tidak diwajibkan bersembahyang secara ketat, namun cukup bersembahyang apabila sedang mood untuk bersembahyang. Saat mendengar kata-kata itu saya cenderung setuju, namun setelah membaca bahwa worship without sacrifice adalah salah satu dosa sosial, maka saya tidak lagi setuju dengan pendapat teman saya itu. Sembahyang menjadi bermakna jika dilakukan dengan komitmen, mengorbankan rasa malas dan segan, sehingga tidak bisa dilakukan hanya pada saat sedang mood. Pada saat kita bersembahyang dengan komitmen seperti itulah maka ia disebut yadnya.


Dari semua itu saya menyimpulkan bahwa untuk dapat disebut yadnya maka suatu kegiatan tidak dapat dikerjakan hanya dengan sekedarnya. Yadnya adalah suatu persembahan, oleh karena itu harus terdapat upaya yang serius agar persembahan itu menjadi bermakna. Seperti moto propinsi Jawa Timur “Jer basuki mawa bea”, yang artinya “untuk berhasil diperlukan biaya”, maka untuk mencapai kesuksesan atau kebahagiaan diperlukan biaya atau pengorbanan.


Jadi benar bahwa yadnya merupakan suatu persembahan, tetapi juga benar bahwa yadnya merupakan suatu pengorbanan. Dua hal ini tidak bertentangan karena pengorbanan yang dilakukan dalam persembahan bukanlah pengorbanan yang membawa kesedihan, namun justru pengorbanan yang membawa kemuliaan dan kebahagiaan.



I Made B. Tirthayatra, Majalah Vidya Parampara Vol. 1, tahun 2010