Jumat, 13 Agustus 2010

Butir-Butir Dharma Dalam Mahabharata

Kisah Mahabharata dan Ramayana mengakomodasi dengan baik ajaran dan tradisi Weda. Di dalamnya kedua kisah ini terkandung aspek filsafat, moral dan upacara, tiga hal yang merupakan kerangka dasar Agama Hindu. Dengan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kedua kisah ini maka dengan sendirinya umat Hindu memahami ajaran agamanya. 

Tulisan ini menyajikan beberapa kejadian dalam kisah  Mahabharata dan Ramayana yang berisi ajaran-ajaran moral, terutama yang terkait dengan pelaksanaan darma. Kata darma memiliki pengertian yang luas sehingga tidak dapat dicari satu padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Secara umum darma dapat berarti kebenaran ataupun kewajiban. Ajaran Hindu menganggap bahwa pelaksanaan darma merupakan hal yang sangat penting, sehingga aktivitas manusia haruslah dilandasi oleh darma. Inilah sebabnya mengapa tujuan agama Hindu dimulai dengan darma, kemudian baru disusul oleh artha, kama dan moksa. Ditempatkannya darma pada urutan pertama menunjukan bahwa darma harus menjadi landasan bagi setiap kegiatan manusia, baik dalam mencari artha, memenuhi kama, maupun mencapai moksa


Kresna Duta
Setelah para Pandawa menyelesaikan masa pembuangan mereka selama 13 tahun, Yudhistira mengirimkan utusan kepada Hastina untuk meminta Indraprasta kembali. Namun pihak Hastina tidak bersedia memberikan Indraprasta kembali kepada Yudistira. Akibatnya, kedua pihak mulai mempersiapkan diri untuk berperang. Dalam keadaan itu, Sri Kresna berkata bahwa sedapat mungkin perang harus dihindari, dan karenanya ia bermaksud untuk ke Hastina menjadi duta Pandawa guna kembali meminta Kurawa mengembalikan hak para Pandawa. Para Pandawa menyetujui usul tersebut, dan mengutus Kresna untuk berangkat ke Hastina Pura sebagai duta mereka. 
Dalam perjalanan ke Hastina, Sri Kresna didatangi oleh Batara Narada, yang kemudian menanyakan mengapa Kresna berusaha menghalangi perang Bharata. Menurut Betara Narada, tindakan Sri Kresna ini tidak tepat karena Hyang Widhi telah mentakdirkan perang Bharata Yudha untuk terjadi. Atas pertanyaan Betara Narada ini, Sri Kresna berkata bahwa semua yang terjadi di dunia adalah kehendak Tuhan dan manusia tidak akan mampu mengubahnya. Karena keterbatasan inilah, maka manusia harus senantiasa melaksanakan dharma, atau kewajibannya, tanpa perlu memikirkan apakah suatu hal sudah ditakdirkan atau belum. Sri Kresna mengatakan bahwa sebagai manusia, sudah merupakan dharmanya untuk selalu mengutamakan perdamaian. Karena itulah, meskipun Sri Kresna memiliki kemampuan untuk melihat segala yang telah dan akan terjadi, dan tahu bahwa perang Bharata Yudha memang sudah ditakdirkan, ia tetap berangkat ke Hastina Pura dan menjalankan kewajibannya untuk mengusahakan perdamaian.


Sumpah Bhisma
Salah satu tokoh yang sangat dihormati dalam kisah Mahabharata adalah Bhisma. Ia adalah kakek para Pandawa dan Kurawa, dan merupakan putra Prabu Santanu dari perkawinannya dengan Dewi Gangga. Sangat banyak sikap Bhisma yang menunjukan tekadnya melaksanakan dharma. Satu contoh yang paling menggugah adalah sikap bakti pada orang tuanya, yang ditunjukkan ketika ia bersumpah untuk tidak menikah seumur hidupnya.

Kisahnya adalah sebagai berikut. Setelah lama menduda, Prabu Santanu berjumpa dengan seorang puteri yang bernama Dewi Satyawati. Tertarik akan kecantikan sang Dewi, Prabu Santanu melamarnya menjadi permaisuri. Namun sayang sekali Dewi Satyawati menolak lamaran tersebut karena ia telah berikrar hanya akan kawin dengan seorang raja yang mau menjadikan putranya sebagai penerus takhta. Tentu saja Prabu Santanu tidak dapat memenuhi permintaan tersebut karena ia telah memiliki seorang putera, yaitu Bhisma. Menghadapi dilema ini, Prabu Santanu menjadi kurus dan jatuh sakit. Melihat keadaan sang Prabu, Bhisma berusaha untuk mengetahui apa yang terjadi pada ayahnya. Segera setelah ia mengetahui permasalahannya, tanpa ragu Bhisma menemui Dewi Satyawati dan memberikan hak atas takhta Hastina pada putra Dewi Satyawati kelak. Untuk menghindari kemungkinan perebutan kekuasaan antara keturunan Dewi Satyawati dan keturunannya sendiri, Bhisma kemudian bersumpah untuk tidak akan menikah seumur hidupnya.


Demikianlah besarnya bakti Bhisma pada orang tuanya. Sumpah untuk melajang seumur hidup ini diucapkan Bhisma tanpa ragu sedikitpun karena keinginannya untuk membahagiakan ayahnya. Bagi Bhisma, adalah kewajiban seorang anak untuk selalu mengusahakan kebahagiaan orang tua.


Pembuangan Rama
Kisah-kisah pelaksanaan Dharma ini juga sangat banyak digambarkan dalam kisah Ramayana. Pada hari penobatannya sebagai penerus takhta Ayodhya, Rama justru harus mengasingkan diri ke hutan selama 14 tahun. Berikut adalah kisahnya. Sehari sebelum penobatan Rama sebagai raja Ayodhya, Dewi Kaikeyi, ibu tiri Rama, mengingatkan Prabu Dasarata, ayah Rama, tentang sumpah yang pernah diucapkannya. Prabu Dasarata pernah bersumpah bahwa ia akan memberikan permintaan apapun yang diajukan Dewi Kaikeyi. Setelah mengingatkan Prabu Dasarata akan janjinya, Dewi Kaikeyi meminta Prabu Dasarata untuk membuang Rama ke hutan dan mengangkat Bharata sebagai raja Ayodhya. Betapa terkejut Prabu Dasarata mendengar permintaan istrinya ini.

Karena kasihnya pada Rama, Sang Prabu tidak kuasa untuk mengusir putra tertuanya itu. Namun ia juga tidak dapat menolak permintaan Dewi Kaikeyi, karena terikat oleh janjinya. Mengingkari janji yang telah diucapkan adalah hal yang tidak dapat diterima norma saat itu, terlebih lagi janji yang diucapkan seorang raja. Adalah merupakan awal malapetaka bagi suatu kerajaan apabila rajanya mengingkari kata-kata yang telah diucapkannya sendiri. Prabu Dasarata menjadi sangat bersedih menghadapi masalah yang menimpanya itu.

Pada saat hari penobatan tiba, Prabu Dasarata tidak kuasa untuk berkata sepatah katapun karena kesedihannya. Pada mulanya Rama tidak memahami apa yang sedang terjadi, namun setelah dijelaskan oleh Dewi Kaikeyi, ia paham akan permasalahan yang dihadapi ayahnya. Serta merta Rama meyakinkan ayahnya bahwa ia akan menjalani masa pembuangan tersebut dengan senang hati. Akhirnya penobatan tidak jadi dilaksanakan dan pada hari itu juga, dengan didampingi oleh Dewi Shinta dan Laksmana, ia berangkat menuju hutan Dandaka untuk menjalani masa pembuangannya selama 14 tahun.

Demikianlah Rama menjalani masa pembuangannya dengan kemantapan hati karena baktinya kepada orang tua. Rama menyadari bahwa janji yang telah diucapkan adalah bagaikan hutang yang harus dibayar. Karenanya, ia bertekad untuk menjalankan dharmanya sebagai anak dengan menjaga agar orang tuanya tidak melanggar janji yang diucapkan.

Kelahiran Karna
Kembali ke kisah Mahabharata, pelaksanaan dharma kali ini ditunjukan oleh sikap Dewi Kunthi yang tanpa pamrih dalam bekerja. Berikut adalah kisahnya. Suatu hari Rsi Durvasa menjadi tamu di Kerajaan Mandura, yang dipimpin oleh Raja Kunthiboja. Selama menjadi tamu di kerajaan tersebut Rsi Durvasa dilayani dengan baik oleh Dewi Kunthi, puteri Raja Kunthiboja. Merasa puas dengan pelayanan sang Dewi, Rsi Durvasa menanyakan hadiah apa yang diinginkan sang Dewi. Mendengar hal ini Dewi Kunti tidak meminta apa-apa dan menyerahkan pada Rsi Durvasa untuk memberi apa yang menurut Sang Rsi baik bagi Dewi Kunti.

Sikap Dewi Kunthi ini sejalan dengan pesan dalam Bhagawad Gita, agar manusia senantiasa bekerja sebaik-baiknya tanpa memikirkan imbalannya. Manusia tidak dapat mengetahui apa yang paling baik baginya, Hyang Widhilah yang maha mengetahui. Karenanya, manusia seyogyanya senantiasa berkarya dengan sikap pasrah dan bersyukur pada Tuhan, tanpa ada keterikatan akan hasilnya.

Kembali pada kisah Dewi Kunthi, melalui kewaskitaannya Rsi Durvasa mengetahui perjalanan hidup Dewi Kunti. Ia mengetahui bahwa pada saatnya nanti Dewi Kunti akan menikah dengan Pandu yang kemudian dikutuk untuk tidak dapat berhubungan dengan istrinya. Karena itulah maka Rsi Durvasa memberi mantra sakti kepada Dewi Kunti, dengan mana Dewi Kunti dapat memanggil dewa dan memberkatinya agar dapat melahirkan anak dengan kebesaran sama dengan dewa tersebut.
Mungkin karena masih terlalu muda sehingga tidak sabar ingin mencoba kekuatan mantra tersebut, Dewi Kunti kemudian melantunkan mantra tersebut ketika sedang berada di bawah terik matahari. Kemudian ia pun mengandung seorang putra dengan kebesaran Dewa Surya, sang putra kemudian dikenal dengan nama Karna.

Baju zirah dan anting Karna
Karna yang sejak bayi diasuh oleh sais kereta, merasa bahwa kemahirannya memanah tidak kurang dari Arjuna. Karenanya, Karna sangat berambisi untuk bertanding dengan Arjuna, dan membuktikan pada dunia bahwa ia mampu mengalahkannya. Bagi Karna, Perang Bharata Yudha adalah kesempatan emas untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sebelum perang Bharata Yudha dimulai, Batara Surya mendatangi Karna dan memberitahukan bahwa ia akan didatangi oleh seorang pendeta. Pendeta itu akan meminta baju zirah dan anting-anting milik Karna, pusaka sakti yang dapat menahan serangan senjata apapun. Batara Surya menasehati Karna untuk menolak permintaan pendeta tersebut karena pendeta itu tidak lain adalah Betara Indra, ayah Arjuna. Tujuan Batara Indra adalah agar Karna tidak lagi memiliki pelindung sakti dalam pertempuran melawan Arjuna nanti.
Mendengar peringatan ini, Karna mengucapkan terima kasih pada Batara Surya namun juga memohon maaf karena tidak bisa mengikuti anjurannya. Karna mengatakan bahwa ia pernah berjanji akan memenuhi permintaan apapun yang diajukan oleh seorang pendeta, karena itu ia tidak mungkin menolak permintaan atas baju zirah dan anting tersebut. Terlebih lagi setelah mengetahui bahwa pendeta yang akan datang tidak lain adalah Batara Indra sendiri, maka Karna pasti akan memberikan apa yang dimintanya sekalipun itu berarti mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Demikianlah akhirnya Batara Indra datang dalam wujud seorang pendeta dan meminta baju zirah dan anting milik Karna. Tanpa keraguan sedikitpun, Karna melepas baju zirah dan anting yang sudah melekat pada kulitnya tersebut dengan pisau. Tindakan ini dilakukan dengan kemantapan hati karena ia menganggap bahwa menepati kata-kata yang sudah diucapkan adalah kewajiban seorang ksatria. Bagi Karna, pelaksanaan dharma atau kewajiban lebih penting dari segalanya, termasuk dari ambisi hidupnya untuk mengalahkan Arjuna.

Demikianlah beberapa episode yang menggambarkan pelaksanaan dharma dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. Masih ada banyak lagi episode-episode dalam kedua kisah ini yang menggambarkan pengamalan ajaran filsafat, etika dan upacara Hindu. Ajaran-ajaran tersebut merupakan warisan leluhur yang tak ternilai karena bukan saja dapat mengisi kehausan batin generasi muda Hindu akan ajaran agamanya, tetapi sekaligus sebagai modal generasi muda Hindu untuk menjadi generasi yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa.



I Made B. Tirthayatra
Media Hindu, Maret 2005


Daftar Pustaka
  1. Sarasamusccaya, diterjemahkan oleh I Njoman Kadjeng dkk.2000
  2. Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Dahara Prize
  3. Sujamto. 2000. Sabda Pandhita Ratu. Dahara Prize
  4. Lal, P. 1981. The Ramayana of Valmiki. Vikas Publishing House (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Dananto, dengan judul Ramayana, Penerbit PT Penebar Swadaya)
  5. Krishna, Anand. Paramhansa Yogananda, Autobigrafi Seorang Yogi. Gramedia
  6. Krishna, Anand. 1998. Bhagawad Gita Bagi Orang Modern. Gramedia, Jakarta
  7. D.M. Sunardi. 1993. Barata Yudha, Balai Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar