Jumat, 20 Juni 2014

Resensi Buku : Wayang dan Budaya Jawa


Penulis ; Ir. Sujamto
Penerbit ; Dahara Prize, Semarang 
Cetakan Kedua, 1992

Wayang bukan hanya tontonan tapi juga tuntunan, oleh karena itu peran dalang bagi masyarakat adalah sangat penting. Dalang harus memenuhi standar kualitas tertentu untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik.

Dalam buku ini, Bapak Sujamto membahas secara mendalam mengenai kualitas yang selayaknya dimiliki seorang dalang. Contoh dalang yang memiliki kualitas yang baik menurut beliau adalah (alm) Ki Nartosabdho. Beberapa kelebihan Ki Nartosabdho yang perlu dicontoh oleh dalang-dalang lain adalah dalam hal-hal berikut ini :

1.   Penjiwaan yang total
Totalitas penjiwaan ini menyebabkan setiap pegelaran wayang yang dilakukan Ki Nartosabdho menjadi hidup, komunikatif dan dapat menembus segi-segi paling dalam dari hati nurani penonton, sehingga dalam momen-momen tertentu penonton tidak dapat menahan lelehan airmatanya, mbrebes mili, dan hanyut dalam suasana yang diciptakan oleh Ki Dalang.

2.   Cita dan pandangan hidup
Setiap kali kita menyaksikan dan menghayati sajian Ki Narto, selalu kita diajak untuk lebih   meyakini tentang kamahakuasaan Tuhan (yang oleh Ki Narto sering disebut sebagai Kang Akarya Jagad Saisine (yang menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya-red)). Kita juga diajak untuk lebih semakin yakin bahwa hukum Tuhan, yakni hukum kesemestian atau takdir itu pasti akan berlalu, dan secara kebetulan, atau ndilalah dalam bahasa Jawanya, ia akan ketemu dengan hukum manusia yakni hukum karma, ngundhuh wohing panggawe.

3.      Bakat dan kesungguhan usaha
Pedalangan adalah juga suatu ilmu atau ngelmu, yang perlu ditekuni oleh para dalang dengan laku. Bagi Ki Narto, laku ini dihayati dan diamalkan dalam sepenuh maknanya. Yang jelas dilakukan oleh Beliau adalah terus menerus belajar dengan tekun sampai di akhir hayatnya.

Bagi dalang, membaca buku adalah ibarat menyetrum aki untuk menambah daya. Makin banyak membaca, makin banyak ngelmu yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian ia akan benar-benar bisa ngudhal atau membagi-bagikan simpanan ilmunya itu kepada khalayak penonton.

Selain dengan banyak belajar dan membaca buku, Ki Nartosabdho juga menjalani laku sebagaimana layaknya orang Jawa melakukannya, yaitu dengan jalan tirakat. Dan bagi Ki Narto agaknya tirakat atau prihatin atau laku batin itu diberi arti yang longgar. Perwujudannya tidaklah harus melalui sikap asketis yang keras seperti puasa senin-kamis, mutih, pati geni, ngebleng dan lain-lain, tetapi sekedar membatasi atau tidak mengumbar keinginan ke arah kenikmatan lahiriah melulu. 

Tidak mengumbar nafsu. Itulah hakekat laku batin atau prihatin atau tirakat menurut Ki Narto. Hal ini dijabarkan dalam Wulangreh melalui dua bait tembang Kinanthi yang sering didendangkan oleh Ki Narto, yaktni sebagai berikut :

Padha gulangen ing kalbu
ing sasmita amrih lantip
aja pijer mangan nendra 
ing kaprawiran den kesthi
pesunen sariranira 
sedanen dhahar lan guling 


Dadiya lakunireku 
cegah dhahar lawan guling
lawan aja sukan-sukan
anganggowa sawatawis 
ala wateke wong suka
nyuda prayitna ning batin 

Terjemahan bebas :

Biasakan melatih jiwamu 
agar peka dalam menangkap isyarat gaib 
jangan mengumbar nafsu makan dan tidur 
utamakan keluhuran budi 
kurangi makan dan tidur 

Jadikan sebagai laku yang kau biasakan 
membatasi makan dan tidur (berfoya-foya) 
jangan mengutamakan kesenangan 
pakailah kewajaran dan pembatasan 
sifat orang mengumbar kesenangan adalah 
mengurangi kewaspadaan batin 

Laku sederhana yang dijalani oleh Ki Narto setiap hari antara lain adalah mencoba tidak memakan salah satu dari makanan-makanan yang paling digemarinya.

Mengapa Ki Nartosabdho, dan kebanyakan orang Jawa (terutama di waktu yang lalu), suka menjalankan laku batin seperti itu? Karena setiap laku batin itu mempunyai daya psikologis, bahkan bagi yang percaya, mempunyai daya magis, untuk meningkatkan kesungguhan, ketekunan dan ketabahan serta keuletan seseorang dalam memperjuangkan cita-citanya.

Dalam penutup ulasan butir tiga ini, Bapak Sujamto menyampaikan harapannya terhadap para dalang yang ingin meningkatkan kwalitas diri sampai bisa menyamai atau bahkan melampaui Ki Nartosabdho, agar menjalani laku seperti Ki Narto menghayati dan mengamalkannya, yaitu lewat laku lahir dan laku batin. Laku lahir adalah belajar dan berlatih tak kenal henti, termasuk banyak membaca buku. Dan laku batin adalah seperti pesan Wulangreh tersebut di atas.

4.      Kreativitas

5.      Sanggit
Sanggit adalah kemampuan dan kemahiran dalang melalui penyajian serta pengaturan dialog dan skenario untuk membentuk atau mengarahkan opini penontonnya terhadap jalannya cerita, sejalan dengan norma dan etika yang dianut Ki Dalang. Dalang yang kaya akan sanggit dapat menggali pesan moral dari adegan-adegan wayang, sehingga peran wayang sebagai tuntunan benar-benar berjalan. Sedangkan dalang yang miskin sanggit hanya akan menyampaikan cerita tanpa menggali atau menyampaikan nilai moral dan filsafat yang terkandung di dalamnya.  

6.      Penguasaan bahasa dan pengetahuan umum

7.      Pesan dan Kritik

8.      Membaca dan mengarahkan selera publik

9.      Menguasai pakem
Dalam pewayangan ada pakem-pakem tertentu yang harus diikuti oleh dalang. Bukan berarti dalang tidak boleh berimprovisasi, namun demikian ada hal-hal tertentu yang sudah merupakan hal-hal yang dibakukan. Menurut pengamatan Bapak Sujamto, pembakuan tersebut meliputi tata gendhing dan irama gamelan, tata urutan penyajian adegan, pembakuan jalan cerita, pembakuan watak, pembakuan bentuk wayang, pembakuan etika wayang, pembakuan simbol-simbol pokok, pembakuan suluk, dan arahan terhadap aspek-aspek tertentu. 

Dalam hal pembakuan bentuk watak, terdapat beberapa dalang yang kurang tepat menjelaskan karakter suatu tokoh wayang, sehingga gambaran tokoh wayang tersebut menjadi kurang tepat. Contohnya adalah karakter Bhagawan Drona. Sebenarnya tokoh Bhagawan Drona adalah tokoh yang baik dan bijaksana, namun penggambaran yang kurang tepat maka ia digambarkan menjadi tokoh yang licik. Yang menjadi masalah adalah kalau dalang yang melakukan penggambaran tersebut adalah dalang yang populer, maka penggambaran ini akan menyebar luas dan diikuti dalang-dalang muda. Contoh lain adalah penggambaran Dewi Kunthi. Meskipun pandangan ini tidak banyak, namun terdapat pandangan bahwa Dewi Kunthi adalah wanita yang memiliki perilaku tidak baik, karena ia telah melahirkan putera pertamanya tanpa suami. Terhadap pendapat-pendapat tersebut Bapak Sujamto menyampaikan sendiri penilaiannya terhadap Dewi Kunthi, bahwasanya Dewi Kunthi adalah seorang wanita yang sangat mulia. Bahwasanya ia melahirkan puteranya tanpa suami adalah karena ia mendapat berkah dari Dewa Surya, yang sama sekali tanpa melalui hubungan badan. 

Sebagai penutup tulisan ini, berikut adalah kutipan kisah Dewi Kunthi yang dituturkan Bapak Sujamto dalam buku ini. 

* * *  
             
Kunthi adalah sekar kedhaton (putri raja) mandura, anak Prabu Kuntiboja, yang dalam pewayangan Jawa mempunyai 4 orang anak, yaitu Basudewa (yang menurunkan Baladewa dan Kresna), Dewi Kunthi, Haryaprabu Rukma (paman dan mertua Kresna) dan Raden Ungrasena (ayah Setyaki).

Pada waktu masih gadis remaja, Kunthi sering ditugaskan oleh ayahnya untuk melayani keperluan-keperluan Rsi Druwasa, pendeta istana Mandura dan sahabat ayahnya. Rsi Druwasa amat terkesan dan puas sekali atas layanan-layanan Dewi Kunthi. Dan sebagai seorang pendeta yang telah tinggi tataran ilmunya, ia bisa mengetahui nasib malang yang akan menimpa bakal suami Dewi Kunthi kelak. Kemudian Rsi Druwasa memberikan hadiah kepada Kunthi berupa aji pameling, yaitu sejenis mantra yang dapat digunakan untuk mendatangkan dewa yang dikehendaki; dan dewa yang didatangkan itu akan memberikan anak kepada yang mendatangkannya. Dalam pedalangan, aji ini terkadang disebut pula sebagai Aji Kunta Wekasing Rasa atau nama lain lagi. Dalam Rajagopalachari (1989) disebut sebagai son – giving mantra.

Karena Mahabharata itu berasal dari India, maka ada baiknya kita membuka-buka sumber acuan dari sana. Meskipun di India sendiri juga sudah ada berbagai versi, tetapi setidak-tidaknya itu sudah lebih dekat dari sumbernya. Marilah kita simak kutipan dari Rajagopalachari sebagai berikut :
 
(dalam buku Bapak Sujamto megutip langsung tulisan tersebut dalam bahasa Inggris, disertai dengan terjemahannya yang diambil dari Mahabharata karya Nyoman S. Pendit, untuk mempersingkat maka yang akan saya tampilkan disini adalah terjemahannya saja)
Ketika Kunti Devi masih merupakan gadis kecil, Resi Durvasa pernah tinggal di rumah ayahnya sebagai tamu dan Kunti Devi melayani rsi tersebut selama satu tahun dengan penuh perhatian, kesabaran dan kebaktian. Resi itu merasak sangat puas akan kebaktian Kunti Devi sehingga ia lalu memberikan mantra suci. Ia berkata : “Apabila engkau hendak memanggil Dewa yang mana saja mantra suci ini akan menolong engkau. Ia akan muncul di hadapanmu dan akan memberi restu agar engkau mempunyai anak yang kebesarannya sama dengan Dia”. Rsi Durvasa memberikan mantra itu kepadanya, karena ia telah meramalkan dengan kekuatan yoginya, bahwasanya Kunti Devi akan menemui nasib yang jelek dengan bakal suaminya di kemudian hari.

Karena ingin tahu dan tidak dapat menahan kesabarannya Kunti Devi lalu berhasrat untuk mencoba sekali-sekali kekuatan serta akibat mantra tersebut dengan jalan secara diam-diam mengulangi mantra itu dengan menyebut nama Dewa Matahari yang dibayangkannya bercahaya-cahanya di sorga. Tiba-tiba langitpun menjadi gelap gulita penuh dengan kabut tebal, dan dari balik kabut itu menculah Dewa Matahari mendekati Kunti Devi yang cantik dan berdiri di dekatnya dengan pandangan kagum dan simpati yang menembus kalbu. Kunti Devi, karena dipengaruhi kekuatan gaib dan penglihatan yang agung serta suci dari tamunya, lalu berkata : Oh Dewa, siapakah gerangan engkau ini?”

Dewa Matahari menjawab : “Wahai Juwita, aku ini adalah matahari. Aku telah ditarik oleh kekuatan gaib mantra yang engkau ucapkan untuk memanggil aku”.

Kunti Devi dengan perasaan sangat kaget dan gembira berkata : “Aku adalah gadis kecil yang masih ada di bawah pengawasan ayahku. Aku belum dan tidak patut untuk menjadi Ibu dan tidak pernah memimpikan hal tersebut. Aku hanya ingin mencoba kekuatan mantra yang telah diberikan oleh Rsi Druvasa. Kembalilah dan maafkanlah kedunguanku yang kekanak-kanakkan ini”. Tetapi Dewa Matahari tidak bisa kembali karena kekuatan gaib mantra itu menahan dia, sedangkan Kunthi Devi merasa cemas setengah mati kalau-kalau kelak dihinakan oleh seluruh dunia. Namun demikian Dewa Matahari meyakinkannya :

“Tidak akan ada hinaan terhadap dirimu, karena setelah melahirkan anakku engkau akan kembali menjadi perawan suci sebagai semula”.

Kunti Devi pun mengandunglah dengan rakhmat Dewa Matahari yang memancarkan cahaya dan memberi hidup kepada dunia. Dan kelahiran suci dari anaknya tibalah seketika itu juga tidak sebagai kelahiran manusia biasa yang dikandung selama kurang lebih sembilan bulan. Kunti Devi melahirkan Karna yang muncul dengan alat persenjataan perang suci serta anting-anting bercahaya-cahaya indah seperti matahari. Karena inilah yang kelak menjadi pahlawan terbesar di dunia. Kunti Devi setelah melahirkan karna menjadi perawan suci lagi akibat dari kekuatan gaib yang diberikan oleh Dewa Matahari.

Dari kutipan tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa pertemuan Kunti dengan Dewa Matahari (atau Bathara Surya dalam pewayangan Jawa) sama sekali tidak mengandung bau-bau asmara, apalagi seks.

Hubungan dengan Bathara Surya-Kunthi adalah proses gaib yang penuh dengan lambing-lambang. Kelahiran Karna adalah kelahiran gaib. Bukan kelahiran biasa. Dan ratio manusia memang tak akan mampu menggapai hal-hal yang bersifat gaib. Ratio memang bukan alat untuk itu. Ratio manusia memang telah berhasil meningkatkan ilmu dan tehnologi ke tingkat yang lumayan seperti sekarang ini dan telah berhasil pula menyingkap misteri alam dengan hukum-hukumnya yang diciptakan oleh Tuhan. Tetapi itu semua barulah sebagian amat kecil dari rahasia ciptaan Tuhan yang Mahabesar ini. (catatan penulis – menurut hemat saya, ratiopun bisa menjangkau hal-hal yang “bersifat gaib”. Kita menyebut gaib, karena kebetulan pengetahuan kita saat ini belum mencapai hal tersebut. Namun, begitu pengetahuan kita sudah mencapainya, hal itu tidak lagi disebut gaib lagi. Sebagai contoh, “hal gaib” yang dimaksud Bapak Sujamto disini, yaitu Dewi Kunti dapat hamil tanpa ada pihak kedua yang membuahi, sekarang hal ini sudah bukan hal gaib lagi. Baru-baru ini seorang ilmuwan wanita dari Australia mengadakan eksperimen melalui tikus. Dengan eksperimen tersebut ia membuktikan bahwa kehamilan dapat terjadi tanpa perlu pihak kedua (sang bapak). Dengan menggunakan unsur-unsur di tubuh si tikus sendiri, tikus tersebut dapat hamil. Namun percobaan ini belum dilakukan terhadap manusia.)

Persoalan lain yang sering memberatkan penilaian orang terhadap Dewi Kunti adalah tentang dilarungnya Karna. Ini yang menimbulkan anggapan bahwa Dewi Kunti itu kejam dan suka menganiaya anak. Anggapan seperti itu adalah keliru. Memang, sebagai seorang gadis remaja, Kunti merasa takut dan kebingungan dengan lahirnya Karna. Tetapi Resi Druwasa menyelesaikan persoalan itu dengan baik. Sebagai seorang pendeta yang berilmu tinggi, ia dapat mengetahui bahwa semua yang terjadi di dunia ini terjadi atas kehendak Tuhan. Manungsa among saderma nglakoni (manusia hanya sekedar menjalani takdir yang telah ditentukan). Ia tahu bahwa pada saat itu sedang bertapa di tepi sungai Yamuna, seorang raja yang ditangisi oleh istrinya karena telah sekian tahun tak punya anak. Raja itu adalah Prabu Radeya dari Petapralaya. Atas usul Resi Druwasa, Karna dilarung ke sungai Yamuna, karena sesuai dengan takdirnya, Karna  itu sudah pinasthi menjadi anak angkat Radeya. Bagi Radeya, bayi yang ditemukannya itu adalah anugrah Tuhan, buah hasil permohonannya yang sungguh-sungguh, selama ia bertapa di tepi sungai Yamuna. Semua kejadian itu tampaknya serba kebetulan. Dalam bahasa Jawa: ndilalah; tetapi sebenarnya di alam ini tidak ada kejadian yang kebetulan. Semua sudah dijalin dan dirancang oleh Perancang Agung, Yang Maha Mengetahui, Gusti Ingkang Maha Wikan. Di mata manusia, semua terjadi menurut hukum sebab dan akibat, atau hukum ngunduh wohing panggawe. Semua akan memperoleh hasil sesuai dengan perbuatannya! Dan kedua dimensi itu selalu bertemu di titik-titik yang telah ditentukan.

Kembali kepada Dewi Kunthi dengan aji pamelingnya. Resi Druwasa memberikan aji tersebut kepada Dewi Kunthi karena ia tahu melalui kemampuan gaibnya, bahwa kelak Kunthi memerlukan aji itu untuk mengatasi kesulitan akibat musibah yang menimpa suaminya. Siapa suami Kunthi dan bagaimana musibah itu?

Setelah menginjak dewasa, Dewi Kunthi sangat termashur kecantikannya dan keluhuran budinya. Banyak raja dan para ksatria yang ingin mempersuntingnya. Singkat kata, setelah suatu melalui sayembara, Kunthi berhasil dipersunting dan menjadi permaisuri Prabu Pandudewanata dari kerajaan Astina. Kemudia Pandu juga mempersunting Dewi Madrim, adik Raden Narasoma dari kerajaan Mandaraka, yang setelah menjadi raja bergelar Prabu Salya.

Pada suatu hari Prabu Pandu berburu ke hutan. Tak lama kemudian dilihatnya sepasang kijang sedang berburu dengan asyiknya. Sebagai pemburu, Prabu Pandu lantar membidikkan panahnya ke arah kijang jantan. Dan bidikan Prabu Pandu memang tidak pernah meleset. Dalam sekejap terdengarlah bunyui lengkingan yang menyayat dan mengharukan. Kijang jantan yang sebenarnya adalah Rsei Kimindana, pendeta yang sedang menyamar dan bercengkerama dengan istrinya itu mati seketika dan lenyap dengan raganya serasa meninggalkan sumpah kepada Pandu sebagai berikut :

"Hai Prabu Pandu, kau raja yang tidak berperikemanusiaan, tak tahu sopan santun. Senang mengganggu ketenteraman orang lain. Oleh karena itu hati-hatilah, di kala engkau sedang bercumbu rayu dengan istrimu, disitulah sampai ajalmu. Kemudian ketahuilah hai Pandu, kau telah membunuh seorang Brahmana tanpa dosa, tunggulah saatnya tiba."

Tentu saja Pandu amat menyesal dan bersedih hati. Menyesal atas perbuatannya yang tidak hati-hati sehingga merugikan orang lain. Bersedih hati karena dengan kutukan itu berarti seumur hidup ia tak mungkin melakukan hubungan seperti layaknya suami dengan istrinya, yang berarti juga tak mungkin lagi ia memperoleh keturunan.

Merasakan kepedihan suaminya yang amat sangat itu Dewi Kunthi menceritakan kepada Pandu tentang aji pameling pemberian Resi Druwasa. Kemudian Dewi Kunthi mengusulnkan kepada suaminya untuk mengupayakan anak melalui kelahiran-kelahiran gaib atas rakhmat dewa-dewa yang dikehendakinya. Pandu menyetujui usul itu, bahkan menghendaki agar kelahiran gaib itu terjadi pula melalui Dewi Madrim. Maka lahirlah berturut-turut dari rahim Dewi Kunthi : Puntadewa atas rakhmat Sang Hyang Dharma, dewa kebajikan ; kemudian Bima atau Bratasena atau Wekudara atas rahmat Bathara Bayu, dewa angin; dan yang ketiga adalah Arjuna atau Permadi atas rahmat Bathara Endra, dewa angkasa raya, lambing dari sifat yang sempurna dan gagah berani; dan dari Dewi Madrim lahir sekaligus (kembar) Nakula dan Sadewa atas rahmat dewa kembar Aswin. Kelima anak laki-laki itulah yang disebut Pandawa, yang berarti keturunan Pandu.

Syahdan, sebagai seorang laki-laki biasa, Pandu yang memang amat mencintai kedua istrinya itu akhirnya tak dapat membendung hasratnya untuk dapat memadu kasih dengan Dewi Madrim. Dan pada saat itu pula terjadilah apa yang telah dikutukan kepada Pandu oleh Resi Kimindana.

Dari kisah-kisah tadi dan lebih-lebih kisah-kisah kelanjutannya dalam mengasuh kelima anaknya yang telah ditinggal oleh suami dan Dewi Madrim, terbukti bahwa Kunthi adalah profil seorang ibu yang berbudi luhur, penuh kasih sayang kepada anak-anaknya (termasuk kedua anak tirinya) dan kepada sesama, serta tabah dalam menghadapi setiap keadaan, dilandasi sikap yang percaya penuh terhadap keadilan dan kekuasaan Yang Maha Agung.

Demikianlah gambaran sekilas tentang Dewi Kunthi. Pada akhir cerita Bapak Sujamto menyampaikan bahwa beliau tidak menganggap bahwa versi yang ditampilkannya yang paling benar. Banyak memang versi-versi lain yang berbeda-beda. Dan tentu saja kita bebas menentukan pendapat dan pilihan. Namun demikian, dalam hubungan ini beliau mengajak agar kita memilih versi yang mempunyai sumber acuan yang kuat dasarnya dan yang paling bermanfaat bagi khalayak ramai untuk dikembangkan. Apalagi kalau kita ingat bahwa wayang bukanlah sekedar tontonan tapi juga tuntunan. 

Akhir kata, terima kasih telah membaca resensi buku Wayang dan Budaya Jawa. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.



( tulisan ini pernah saya tampilkan juga di 
http://www.oocities.org/tirtayatra/wayang_budaya_jawa.htm )

Selasa, 11 Januari 2011

Resensi Buku: Sabda Pandhita Ratu

Penulis ; Ir. Sujamto
Penerbit ; Dahara Prize, Bandung
Cetakan keenam tahun 2000


Buku ini ditulis oleh alm. Bapak Sujamto, wakil Gubernur Jawa Tengah tahun 1990 an. Beliau adalah seorang pecinta budaya Jawa yang sangat kreatif menulis. Lewat tutur bahasa yang sangat menarik beliau menulis buku-buku yang memuaskan dahaga banyak orang akan nilai-nilai filsafat Jawa .

Buku Sabda Pandhita Ratu adalah salah satu buku beliau yang sarat dengan nilai-nilai budaya Jawa. Sabda Pandhita Ratu berarti seorang pemimpin haruslah konsekwen melaksanakan apa yang dikatakannya. Seorang pemimpin yang melaksanakan hal ini dalam bahasa Jawa dinyatakan sebagai pemimpin yang memiliki sifat bawalaksana.

Dalam filsafat Jawa, seorang pemimpin harus memiliki sifat bawalaksana disamping sifat-sifat baik lainnya. Ini tercermin dalam ungkapan yang sering diucapkan ki dalang dalam setiap lakon wayang, yang berbunyi : dene utamaning nata, ber budi bawalaksana (sifat utama bagi seorang raja adalah bermurah hati dan teguh memegang janji).

Dalam mengulas bawalaksana Bapak Sujamto menyajikan berbagai contoh dari dunia pewayangan. Hal ini dikarenakan beliau berpendapat bahwa etika dan filsafat Jawa secara umum terjabarkan dan tersimpan dengan baik dalam kisah pewayangan. Hal ini dinyatakan dalam pengantarnya sebagai berikut; “Bahwa saya mengukur etika Jawa dari peristiwa-peristiwa dalam dunia pewayangan (baik yang bersumber dari Ramayana maupun dari Mahabarata), itu memang berangkat dari anggapan saya bahwa dasar-dasar etika dan filsafat Jawa pada umumnya terjabarkan dengan baik dan tersimpan dengan baik pula dalam dunia pewayangan.

Lebih lanjut Bapak Sujamto menyatakan bahwa pada dunia pewayangan, sifat bawalaksana itu mempunyai nilai yang sangat tinggi, sehingga ia harus dimenangkan apabila terpaksa berbenturan dengan nilai-nilai lain, termasuk nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Contoh unik yang ditampilkan beliau untuk menggambarkan hal ini adalah diperistrinya Dewi Drupadi oleh kelima Pandawa. Suatu hari ketika sedang hidup di tengah hutan, Dewi Kunthi (ibu para pandawa) menugaskan Arjuna untuk mencari makanan bagi saudara-saudaranya. Ternyata Arjuna bukan saja berburu mencari makan namun sempat pula mengikuti sayembara di negeri Pancala dan pulang dengan memboyong Dewi Drupadi. Ketika Arjuna sampai di depan depan pondoknya bersama Drupadi, ia memanggil Ibunya dari luar. Mengetahui kedatangan Arjuna, Dewi Kunthi segera bersabda "Arjuna, kami semua telah lama menunggumu.Terutama adik-adikmu Nakula dan Sadewa telah amat menderita karena lapar. Oleh karena itu, bagilah segera dengan adil apa yang kau bawa itu untuk kamu berlima." Alangkah terkejutnya Dewi Kunthi setelah mengetahui bahwa Arjuna membawa Drupadi. Tapi kata telah terucapkan dan tak dapat ditarik lagi. Maka jadilah Drupadi sebagai istri Pandawa bersaudara. Mengenai hal ini, mungkin kita akan berpikir, bukankah Dewi Kunthi dapat meralat kembali kata-katanya. Tentu saja Dewi Kunthi dapat meralat kata-katanya setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Dan seandainya Dewi Kunthi berbuat demikian, tidak seorangpun yang dirugikan. Tetapi Dewi Kunthi tidak meralat kata-katanya. Menurut norma yang berlaku pada waktu itu, sesanti sabda pandhita ratu tan kena wola-wali adalah prinsip yang dimutlakkan. Juga seandainya ia harus bertabrakan dengan prinsip-prinsip lain seperti keadilan, kewajaran, kelaziman dan bahkan kebenaran.

Kisah mengenai Dewi Drupadi tersebut adalah salah satu contoh dijunjung tingginya prinsip bawalaksana. Masih banyak lagi contoh-contoh lain yang disajikan dalam Sabda Pandhita Ratu ini, baik yang teguh melaksanakan prinsip bawalaksana seperti kisah mengenai Prabu Sentanu, Rama, Dewi Durgandini, Bisma, Yudhistira, Adipati Karna dan lainnya, maupun yang tidak melaksanakannya, seperti Sumantri, Begawan Wisrawa, dsb.

Sebagai penutup berikut ini, saya salinkan lagi satu kisah yang disajikan dengan baik sekali oleh Bapak Sujamto dalam bukunya untuk menggambarkan keteguhan dalam melaksanakan prinsip Bawalaksana. Kisah ini adalah bagian dari epik Ramayana.

* * *
Kisah diusirnya Sri Rama dari kerajaan Ayodya menjelang saat-saat penobatannya sebagai raja menggatikan ayahnya (Prabu Dasarata), adalah akibat etika bawalaksana yang harus dijunjung tinggi oleh Prabu Dasarata sebagai seorang raja yang baik.

Tak seorangpun sebenarnya yang meragukan ketepatan dan kearifan Prabu Dasarata yang berniat menunjuk Sri Rama menggantikan dirinya sebagai raja Ayodya. Ditinjau dari segala segi, keputusan itu adalah yang paling baik. Sri Rama bukan saja sebagai anak tertua di antara keempat anak Prabu Dasarata (Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna), tetapi ia juga yang paling pandai, paling bijaksana dan paling banyak pengalamannya serta lahir dari istri pertama Prabu Dasarata, yakni Dewi Ragu atau Dewi Sukasalya. Ia bahkan diyakini sebagai avatara Wisnu (dalam pewayangan Jawa disebut sebagai titising Bathara Wisnu). Akan tetapi pada malam hari menjelang hari penobatan Rama, tiba-tiba Prabu Dasarata diingatkan oleh seorang istrinya, yakni Dewi Kekeyi (ibu Bharata), bahwa Prabu Dasarata pernah berjanji kepadanya bahwa anak Dewi Kekeyilah yang kelak akan menggantikannya sebagai raja Ayodya.

Sudah barang tentu Prabu Dasarata sangat terpukul dengan kenyataan itu. Janji itu memang betul pernah beliau ucapkan jauh di waktu yang telah lampau pada saat beliau belum mempunyai keturunan dari istrinya yang pertama. Sebagai seorang raja yang baik, janji itu hanya diketahui oleh dirinya dan Dewi Kekeyi saja, tidak ada orang lain yang menyaksikannya.

Dengan hati yang hancur luluh, malam itu juga beliau memanggil Sri Rama untuk memberitahukan masalah ini. Dan sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tua, Sri Rama dengan tulus menyarankan kepada ayahnya untuk memenuhi janji itu. Adalah aib besar bagi seorang raja mengingkari janji yang pernah diucapkannya. Biarlah Bharata yang menggantikan ayahnya sebagai raja Ayodya (meskipun Bharata sendiri sebenarnya sangat enggan menerima itu dan tetap mengharap Sri Rama yang menjadi raja). Bukan hanya itu, Sri Rama juga tulus ikhlas memenuhi permintaan Dewi Kekeyi untuk meninggalkan kerajaan Ayodya dan hidup di hutan Dandaka selama 14 tahun lamanya.

Demikianlah dengan hati yang amat pilu, Prabu Dasarata terpaksa membuat keputusan yang tidak sesuai dengan norma-norma keadilan dan kebenaran dan merelakan anaknya yang sangat disayangi untuk hidup dalam penderitaan di hutan Dandaka (ditemani oleh Dewi Sinta, istrinya, dan Laksmana, adik dari lain ibu). Semuanya itu terpaksa dilakukan karena seorang raja yang baik harus bawalaksana. Ia memang bisa mengingkari semua itu tanpa konsekwensi apapun kecuali satu, yakni runtuhnya satu norma yang harus dijunjung tinggi oleh seorang raja, yaitu bawalaksana! Dan keruntuhan norma ini baginya hanyalah berakibat pencemaran nama. Tapi bagi khalayak ramai dan bagi sejarah kerajaan Ayodya, keruntuhan itu sebenarnya memang suatu bencana besar. Bagaimana rakyat Ayodya dapat mengharapkan hari depan yang cerah jika dipimpin oleh seorang raja yang esuk dhele sore tempe (pagi kedelai sore tempe) artinya, kata-katanya tidak dapat dipegang. Karena itulah, dengan hati yang hancur berkeping-keping, dan akhirnya segera wafat karena penderitaan batin, Prabu Dasarata konsekwen memenuhi janjinya.

Bukan hanya Prabu Dasarata, juga Sri Rama sendiri memberikan contoh yang baik tentang sifat dan sikap bawalaksana yang harus dijunjung tinggi oleh setiap manusia, terutama para pemimpin.

Pada waktu Bharata menyusul Sri Rama ke hutang Dandaka dan dengan sungguh-sungguh memaksanya agar mau kembali ke Ayodya sebagai raja, Sri Rama tidak dapat memenuhi permintaan adiknya itu karena ia telah menyanggupi, yang berarti juga telah berjanji untuk hidup di hutan Dandaka selama 14 tahun lamanya. Jadi, apabila Sri Rama memenuhi permintaan Bharata, hal itu berarti bahwa ia telah mengingkari janji dan bahkan secara tidak langsung telah menyebabkan ayahnya pun tidak memenuhi janjinya kepada Dewi Kekeyi. Pengingkaran janji seorang raja adalah bencana bagi rakyatnya. Bagi Sri Rama, pantang untuk kembali ke Ayodya sebelum masa 14 tahun itu terpenuhi.

Untuk meringankan beban lahir dan batin bagi Bharata dalam memimpin kerajaan Ayodya, karena Bharata sudah bertekad tidak mau menggantikan Sri Rama menjadi raja, maka secara simbolik Sri Rama memberikan trumpahnya sebagai manifestasi dirinya di singgasana kerajaan Ayodya dan secara realistik ia memberikan petuah-petuah dan ajaran kepemimpinan yang kemudian dikenal sebagai Asta Brata.

***
Demikian sekilas mengenai buku Sabdha Pandhita Ratu. Terimakasih atas perhatian teman-teman membaca tulisan ini. Jenang sela wader pari sesondheran, apuranta yen wonten lepat kawula. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan baik yang saya sengaja maupun tidak.

Minggu, 02 Januari 2011

Yadnya

Dulu saya sering bertanya mengapa yadnya diartikan sebagai pengorbanan. Bukankah yadnya adalah suatu persembahan? Bukankah suatu persembahan harus didasari oleh rasa senang, ikhlas, dan syukur? Mengapa yadnya, yang merupakan suatu persembahan, diartikan sebagai pengorbanan, suatu kata yang memiliki kesan adanya keterpaksaan dan rasa sakit?


Beberapa tahun telah berlalu, dan saya tidak pernah lagi memikirkan pertanyaan ini sampai saya mendengar ceramah John Maxwell. John Maxwell adalah seorang pembicara dari Amerika, mungkin seperti Mario Teguh atau Andrie Wongso nya Amerika. Dalam ceramah itu John Maxwell tidak berbicara mengenai yadnya, pengorbanan ataupun persembahan, namun mengenai tanggung jawab seorang pemimpin untuk berubah. Ada satu kalimat dalam ceramah tersebut yang saya anggap sebagai jawaban atas pertanyaan saya. Kalimat tersebut adalah “apabila perubahan yang Anda lakukan tidak menyakitkan, maka itu bukan perubahan


Dalam ceramah itu John Maxwell mengingatkan agar kita tidak berharap adanya perubahan dalam hidup jika kita hanya melakukan hal-hal yang memang sudah selalu kita lakukan. Untuk merubah hidup kita menjadi lebih baik maka kita harus melakukan hal-hal baru yang lebih baik. Untuk menjaga kesehatan, kita harus mulai membiasakan diri bangun pagi dan berolahraga, untuk menjadi pintar kita harus mulai membiasakan diri belajar, untuk berpikir baik kita harus mulai melatih diri berpikir yang baik. Intinya adalah, untuk merubah hidup kita menjadi lebih baik maka kita harus merubah kebiasaan kita, dan itu menyakitkan. Apabila perubahan yang kita lakukan itu tidak menyakitkan, maka itu sebenarnya bukan perubahan.


Apa hubungan ceramah John Maxwell dengan yadnya?


Meskipun John Maxwell tidak menghubungkan ceramahnya dengan masalah kerohanian, sebenarnya apa yang disampaikannya sangat berkaitan dengan masalah kerohanian. Manusia yang ideal menurut agama Hindu adalah manusia yang dalam Bhagawad Gita disebut sebagai sthita prajna, manusia yang tidak terombang ambing oleh suka dan duka, dan mempersembahkan kegiatannya kepada Tuhan. Untuk menjadikan seluruh kegiatan kita sebagai persembahan kepada Tuhan, maka kita harus melakukan yadnya atau pengorbanan atas sifat-sifat buruk kita.


Selama kita masih memegang sifat-sifat buruk itu maka kita tidak dapat menjadi sthita prajna. Sifat-sifat buruk itu kita kenal sebagai Sad Ripu, yaitu nafsu yang tidak terkendali, tamak, marah, mabuk, bingung, dan dengki. Upaya melepaskan sad ripu atau sifat-sifat buruk itu membutuhkan usaha dan perjuangan yang sangat besar dan konsisten, yang tentu saja menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman. Upaya itulah yang merupakan yadnya, atau pengorbanan. Disinilah saya merasa penjelasan John Maxwell mengenai perubahan juga berlaku bagi yadnya. Untuk memperoleh kemuliaan dalam hidup dibutuhkan pengorbanan atau yadnya.


Bagi orang yang berperilaku tenang, satwik dan damai, mungkin mudah untuk mengorbankan rasa marah. Namun bagi seorang pemarah, adalah sangat berat untuk mengorbankan rasa marah. Rasa marah memberikan kenikmatan tersendiri, sehingga meskipun kita semua tahu marah tidak baik, namun seorang pemarah sulit sekali melepaskan keterikatannya pada rasa marah. Dibutuhkan kerelaan, kemauan dan tindakan nyata untuk mengorbankan rasa marah. Mengorbankan rasa marah tidak sama dengan memendam marah. Mengorbankan rasa marah adalah menghilangkan rasa marah, baik dengan melepas beban yang menimbulkan rasa marah atau dengan merubah energi marah menjadi energi yang sifatnya kreatif. Apabila seseorang bersedia dan dapat mengorbankan rasa marahnya, maka ia telah melakukan langkah yang sangat besar untuk menjadi pribadi ideal yang digambarkan dalam Bhagawad Gita.


Bagi seorang yang rajin, mungkin mudah untuk melawan rasa malas. Tapi bagi seorang pemalas, sangat sulit untuk mengorbankan sedikit waktu tidurnya. Dibutuhkan tekad dan kemauan yang besar untuk memulai kebiasaan bangun pagi dan berolah raga. Kita harus melawan rasa kantuk, meninggalkan nikmatnya sentuhan lembut kasur dan guling, dan menuju kamar mandi untuk merasakan dinginnya air di pagi hari. Perjuangan melawan rasa malas itu merupakan yadnya atau pengorbanan.


Bagi seorang yang hatinya terbuka, mungkin mudah untuk melepas rasa dengki. Namun bagi seseorang yang sudah biasa berperilaku dengki, akan sangat sulit melepas kebiasaan itu. Terlebih lagi apabila lingkungannya dipenuhi oleh orang-orang yang juga berpikir dengki. Tapi apabila kita ingin menjadi sthita prajna, ingin menjadi pribadi yang lebih baik, ingin mempersembahkan kegiatan kita untuk Tuhan, maka kita harus rela melepas rasa dengki ini. Itulah pengorbanan yang harus kita lakukan. Kita tidak bisa memiliki rasa dengki dan rasa syukur pada saat yang bersamaan. Apabila kita ingin menjadi pribadi yang bersyukur, maka kita harus ikhlas melepas rasa dengki kita.


Bagi seseorang yang sejak awal memiliki komitmen untuk menyelesaikan masalah, mungkin mudah untuk tidak bingung. Namun tidak sedikit dari kita yang seringkali justru menikmati rasa bingung dan berputar-putar tanpa berusaha mencari solusi. Seringkali kita tidak mencari akar permasalahan namun justru melepaskan tanggung jawab menyelesaikan masalah dengan mencari kambing hitam atau terus mengeluh. Untuk menjadi pribadi yang lebih baik, untuk menjadi sthita prajna, kita harus rela melepas semua kebingungan kita dan mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah kita.


Upaya-upaya di atas tidak mudah dan seringkali menyakitkan. Karena itulah disebut dengan pengorbanan. Itulah yadnya yang harus dilakukan dalam rangka membuat hidup kita menjadi lebih baik, menjadi persembahan kepada Tuhan.


Jawaban atas pertanyaan saya juga datang dari Mahatma Gandhi. Saat itu saya sedang membaca Harus Bisa, sebuah buku kepemimpinan รก la SBY karangan Dino Patti Djalal. Dalam satu kunjungannya ke India, SBY melihat pahatan kata-kata Gandhi yang berjudul 7 dosa sosial. Salah satu dari 7 dosa sosial tersebut adalah worship without sacrifice, atau pemujaan tanpa pengorbanan. Tiba-tiba saya teringat dengan kata-kata salah seorang sahabat saya bahwa dalam Agama Hindu kita tidak diwajibkan bersembahyang secara ketat, namun cukup bersembahyang apabila sedang mood untuk bersembahyang. Saat mendengar kata-kata itu saya cenderung setuju, namun setelah membaca bahwa worship without sacrifice adalah salah satu dosa sosial, maka saya tidak lagi setuju dengan pendapat teman saya itu. Sembahyang menjadi bermakna jika dilakukan dengan komitmen, mengorbankan rasa malas dan segan, sehingga tidak bisa dilakukan hanya pada saat sedang mood. Pada saat kita bersembahyang dengan komitmen seperti itulah maka ia disebut yadnya.


Dari semua itu saya menyimpulkan bahwa untuk dapat disebut yadnya maka suatu kegiatan tidak dapat dikerjakan hanya dengan sekedarnya. Yadnya adalah suatu persembahan, oleh karena itu harus terdapat upaya yang serius agar persembahan itu menjadi bermakna. Seperti moto propinsi Jawa Timur “Jer basuki mawa bea”, yang artinya “untuk berhasil diperlukan biaya”, maka untuk mencapai kesuksesan atau kebahagiaan diperlukan biaya atau pengorbanan.


Jadi benar bahwa yadnya merupakan suatu persembahan, tetapi juga benar bahwa yadnya merupakan suatu pengorbanan. Dua hal ini tidak bertentangan karena pengorbanan yang dilakukan dalam persembahan bukanlah pengorbanan yang membawa kesedihan, namun justru pengorbanan yang membawa kemuliaan dan kebahagiaan.



I Made B. Tirthayatra, Majalah Vidya Parampara Vol. 1, tahun 2010

Senin, 22 November 2010

Wayang

Salah satu bacaan favorit saya sejak masih anak-anak adalah wayang. Saya ingat suatu hari Ibu datang dari pasar membawa komik Mahabharata karangan RA Kosasih untuk kakak saya. Awalnya buku itu terjaga dengan baik, tetapi setelah beberapa lama buku yang lumayan tebal itu menjadi tipis. Halaman-halamannya mulai lepas dan bertebaran dimana-mana. Ada yang di dapur, ada yang terselip diantara tumpukan majalah, ada di rak buku, ada di ruang tamu, dan sebagainya.

Dari halaman-halaman yang lepas itulah saya mulai membaca cerita wayang. Dari membaca sedikit-sedikit itu lama-lama saya menjadi fans berat cerita wayang, dan melahap komik-komik wayang lain karangan RA Kosasih, seperti Bharata Yudha, Pandawa Seda, Parikesit, Prabu Udrayana, Arjuna Sasrabahu, Ramayana, dsb. Saking kagumnya dengan Rsi Bhisma, waktu itu saya bercita-cita menjadi Rsi. Buat orang tua dan kakek saya, cita-cita itu tentu saja menggelikan. Tapi profesi itulah yang selalu saya jawab saat itu kalau ada yang menanyakan apa cita-cita saya.

Hobi membaca wayang terus berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian. Buat saya wayang menarik bukan hanya karena ceritanya yang menarik, tapi juga karena isinya sangat inspiring. Misalnya bagaimana Karna memegang teguh janji yang telah diucapkannya walaupun dengan memegang janji itu ia mengalami berbagai kesulitan. Contohnya adalah ketika ia memenuhi janjinya untuk selalu memenuhi permintaan yang diajukan seorang pendeta. Dengan memenuhi janji ini maka peluangnya untuk mengalahkan Arjuna, musuh besarnya, menjadi berkurang. Ceritanya adalah sebagai berikut (jadi ngedalang nih). Sebelum perang besar keluarga Bharata dimulai, Karna diperingatkan oleh Dewa Surya bahwa Dewa Indra akan menemuinya dalam wujud seorang pendeta untuk meminta baju zirahnya. Dewa Indra tahu bahwa dengan baju itu tidak akan ada senjata apapun yang mampu melukai Karna sehingga akan sulit bagi Arjuna (putra Dewa Indra) untuk menang melawan Karna. Meskipun telah diberitahu oleh Dewa Surya mengenai hal ini, Karna tetap memberikan baju tersebut ketika pendeta yang diceritakan benar-benar datang menemuinya. Hal ini dilakukan karena Karna pernah berjanji untuk memberi apapun yang diminta oleh seorang pendeta kepadanya. Bagi Karna, memegang janji jauh lebih penting dari ambisi hidupnya untuk mengalahkan Arjuna.

Contoh lainnya adalah bagaimana Bhisma berjanji untuk tidak menikah demi agar ayahnya dapat menikah dengan Dewi Satyawati. Ceritanya sangat menarik. Suatu hari Prabu Santanu, ayah Bhisma, bertemu dengan Dewi Satyawati di hutan. Tertarik akan kecantikan sang dewi, Prabu Santanu melamar Dewi Satyawati untuk menjadi istrinya. Namun Dewi Satyawati menolak karena telah berjanji untuk hanya menikah dengan seorang raja apabila putranya nanti akan diangkat menjadi raja. Prabu Santanu tentu saja tidak dapat memenuhi permintaan Dewi Satyawati ini karena ia telah memiliki seorang putra, yaitu Bhisma. Akhirnya Prabu Santanu pulang ke istana dengan perasaan yang sangat sedih dan lama-lama menjadi sakit. Melihat kondisi sang prabu, Bhisma menjadi cemas. Ia lalu berusaha mencari tahu apa yang terjadi dan akhirnya mengetahui apa yang menjadi beban pikiran ayahnya. Tanpa ragu sedikitpun, Bhisma segera menemui Dewi Satyawati dan mengatakan bahwa ia menyerahkan haknya sebagai raja kepada putra Dewi Satyawati kelak. Dewi Satyawati merasa tersentuh dengan pengorbanan Bhisma, namun ia belum yakin dengan hal ini karena putra Bhisma nantinya tentu akan berusaha merebut hak atas kerajaan Hastina. Untuk meyakinkan Dewi Satyawati bahwa tidak akan ada masalah dengan keturunan Bhisma kelak, Bhisma bersumpah untuk tidak menikah seumur hidupnya. Selanjutnya sumpah itu memang benar-benar dijalankan oleh Bhisma seumur hidupnya, meskipun Bhisma harus mengalami masa-masa yang sangat sulit karena sumpahnya itu.

Karna dan Bhisma memberikan keteladanan bahwa seseorang harus memegang janji yang telah diucapkannya.

Kisah lain yang berkesan adalah kisah Sukrasana. Kisah kali ini justru menunjukkan sikap yang kurang terpuji dari seorang tokoh, yaitu Sumantri. Sumantri dan adiknya, Sukrasana, adalah anak-anak Rsi Suwandagni. Sumantri adalah seorang pemuda yang tampan dan sakti. Sedangkan Sukrasana adalah seorang anak yang buruk rupa. Namun meskipun buruk rupa, Sukrasana anak yang sangat baik. Sukrasana dan Sumantri adalah dua saudara yang saling menyayangi dan kemanapun mereka pergi mereka selalu bersama. Suatu hari Sumantri ingin mengadu nasib ke kota dan mengabdi pada raja Arjuna Sasrabahu. Atas ijin ayahnya ia meninggalkan padepokannya di hutan. Karena tahu adiknya tidak akan mau berpisah darinya, maka Sumantri pergi ketika adiknya masih tidur. Ketika Sukrasana bangun ia mencari-cari dan memanggil-manggil kakaknya. Ia sangat sedih ketika mendapati bahwa kakaknya telah pergi.

Singkat cerita Sumantri berhasil mendapat posisi yang tinggi di kerajaan Mayaspati. Suatu ketika ia mendapat tugas yang sangat sulit yang tidak dapat ia selesaikan, yaitu memindahkan Taman Sri Wedari dari swarga loka ke bumi. Dalam keadaan putus asa, ia bertemu dengan Sukrasana yang rupanya sudah lama meninggalkan padepokan untuk mencarinya. Betapa bahagianya mereka berdua ketika bertemu. Setelah bercakap-cakap sejenak, Sumantri menceritakan permasalahan yang dihadapinya. Ternyata Sukrasana dapat membantu sehingga taman Sri Wedari dapat dipindahkan. Ketika Sumantri hendak kembali ke kerajaan, Sukrasana meminta diijinkan untuk ikut. Ia tidak kuat untuk berpisah lagi dengan kakaknya. Namun sayang Sumantri tidak mau membawa adiknya. Meskipun Sumantri sangat menyayangi adiknya, hatinya tertutup oleh egonya. Merasa menjadi pejabat tinggi, ia malu kalau orang-orang tahu ia memiliki adik yang buruk rupa. Untuk menakuti-nakuti adiknya agar tidak mengikutinya, ia mengeluarkan anak panah. Sayangnya tanpa sengaja anak panah tersebut mengenai Sukrasana dan iapun meninggal. Ketika meninggal, Sukrasana berkata bahwa ia tetap ingin bersama kakaknya dan akan berusaha untuk bersamanya bahkan dalam kehidupan berikutnya.

Ketika remaja, saya mulai membaca Mahabharata dan Ramayana selain karangan RA Kosasih. Dalam salah satu buku yang saya baca, karangan Bapak Sujamto, disebutkan bahwa dalang yang baik adalah dalang yang kaya akan sanggit. Sanggit adalah pesan-pesan moral dalam kisah wayang. Apabila dalang hanya menceritakan jalannya cerita, maka hal tersebut belum cukup. Dalang adalah wong kang wasis ngudhal piwulang, atau orang yang mahir menyampaikan ajaran kebaikan, maka seyogyanya seorang dalang tidak hanya membawakan cerita, namun menggali dan menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.

Saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan Bapak Sujamto tersebut. Oleh karena itu, saya menuliskan kisah-kisah yang berisi pesan-pesan moral dalam Mahabharata dan Ramayana (wah, ngedalang lagi nih). Tulisan itu saya beri judul Butir-Butir Dharma Dalam Mahabharata, dan telah saya tampilkan juga dalam blog ini. Tentu saja banyak kekurangan yang ada pada tulisan tersebut, namun mudah-mudahan tulisan tersebut dapat mendorong peminat Mahabharata dan Ramayana untuk menggali dan menemukan sendiri butir-butir dharma yang tekandung di dalamnya.

Jumat, 13 Agustus 2010

Butir-Butir Dharma Dalam Mahabharata

Kisah Mahabharata dan Ramayana mengakomodasi dengan baik ajaran dan tradisi Weda. Di dalamnya kedua kisah ini terkandung aspek filsafat, moral dan upacara, tiga hal yang merupakan kerangka dasar Agama Hindu. Dengan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kedua kisah ini maka dengan sendirinya umat Hindu memahami ajaran agamanya. 

Tulisan ini menyajikan beberapa kejadian dalam kisah  Mahabharata dan Ramayana yang berisi ajaran-ajaran moral, terutama yang terkait dengan pelaksanaan darma. Kata darma memiliki pengertian yang luas sehingga tidak dapat dicari satu padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Secara umum darma dapat berarti kebenaran ataupun kewajiban. Ajaran Hindu menganggap bahwa pelaksanaan darma merupakan hal yang sangat penting, sehingga aktivitas manusia haruslah dilandasi oleh darma. Inilah sebabnya mengapa tujuan agama Hindu dimulai dengan darma, kemudian baru disusul oleh artha, kama dan moksa. Ditempatkannya darma pada urutan pertama menunjukan bahwa darma harus menjadi landasan bagi setiap kegiatan manusia, baik dalam mencari artha, memenuhi kama, maupun mencapai moksa


Kresna Duta
Setelah para Pandawa menyelesaikan masa pembuangan mereka selama 13 tahun, Yudhistira mengirimkan utusan kepada Hastina untuk meminta Indraprasta kembali. Namun pihak Hastina tidak bersedia memberikan Indraprasta kembali kepada Yudistira. Akibatnya, kedua pihak mulai mempersiapkan diri untuk berperang. Dalam keadaan itu, Sri Kresna berkata bahwa sedapat mungkin perang harus dihindari, dan karenanya ia bermaksud untuk ke Hastina menjadi duta Pandawa guna kembali meminta Kurawa mengembalikan hak para Pandawa. Para Pandawa menyetujui usul tersebut, dan mengutus Kresna untuk berangkat ke Hastina Pura sebagai duta mereka. 
Dalam perjalanan ke Hastina, Sri Kresna didatangi oleh Batara Narada, yang kemudian menanyakan mengapa Kresna berusaha menghalangi perang Bharata. Menurut Betara Narada, tindakan Sri Kresna ini tidak tepat karena Hyang Widhi telah mentakdirkan perang Bharata Yudha untuk terjadi. Atas pertanyaan Betara Narada ini, Sri Kresna berkata bahwa semua yang terjadi di dunia adalah kehendak Tuhan dan manusia tidak akan mampu mengubahnya. Karena keterbatasan inilah, maka manusia harus senantiasa melaksanakan dharma, atau kewajibannya, tanpa perlu memikirkan apakah suatu hal sudah ditakdirkan atau belum. Sri Kresna mengatakan bahwa sebagai manusia, sudah merupakan dharmanya untuk selalu mengutamakan perdamaian. Karena itulah, meskipun Sri Kresna memiliki kemampuan untuk melihat segala yang telah dan akan terjadi, dan tahu bahwa perang Bharata Yudha memang sudah ditakdirkan, ia tetap berangkat ke Hastina Pura dan menjalankan kewajibannya untuk mengusahakan perdamaian.


Sumpah Bhisma
Salah satu tokoh yang sangat dihormati dalam kisah Mahabharata adalah Bhisma. Ia adalah kakek para Pandawa dan Kurawa, dan merupakan putra Prabu Santanu dari perkawinannya dengan Dewi Gangga. Sangat banyak sikap Bhisma yang menunjukan tekadnya melaksanakan dharma. Satu contoh yang paling menggugah adalah sikap bakti pada orang tuanya, yang ditunjukkan ketika ia bersumpah untuk tidak menikah seumur hidupnya.

Kisahnya adalah sebagai berikut. Setelah lama menduda, Prabu Santanu berjumpa dengan seorang puteri yang bernama Dewi Satyawati. Tertarik akan kecantikan sang Dewi, Prabu Santanu melamarnya menjadi permaisuri. Namun sayang sekali Dewi Satyawati menolak lamaran tersebut karena ia telah berikrar hanya akan kawin dengan seorang raja yang mau menjadikan putranya sebagai penerus takhta. Tentu saja Prabu Santanu tidak dapat memenuhi permintaan tersebut karena ia telah memiliki seorang putera, yaitu Bhisma. Menghadapi dilema ini, Prabu Santanu menjadi kurus dan jatuh sakit. Melihat keadaan sang Prabu, Bhisma berusaha untuk mengetahui apa yang terjadi pada ayahnya. Segera setelah ia mengetahui permasalahannya, tanpa ragu Bhisma menemui Dewi Satyawati dan memberikan hak atas takhta Hastina pada putra Dewi Satyawati kelak. Untuk menghindari kemungkinan perebutan kekuasaan antara keturunan Dewi Satyawati dan keturunannya sendiri, Bhisma kemudian bersumpah untuk tidak akan menikah seumur hidupnya.


Demikianlah besarnya bakti Bhisma pada orang tuanya. Sumpah untuk melajang seumur hidup ini diucapkan Bhisma tanpa ragu sedikitpun karena keinginannya untuk membahagiakan ayahnya. Bagi Bhisma, adalah kewajiban seorang anak untuk selalu mengusahakan kebahagiaan orang tua.


Pembuangan Rama
Kisah-kisah pelaksanaan Dharma ini juga sangat banyak digambarkan dalam kisah Ramayana. Pada hari penobatannya sebagai penerus takhta Ayodhya, Rama justru harus mengasingkan diri ke hutan selama 14 tahun. Berikut adalah kisahnya. Sehari sebelum penobatan Rama sebagai raja Ayodhya, Dewi Kaikeyi, ibu tiri Rama, mengingatkan Prabu Dasarata, ayah Rama, tentang sumpah yang pernah diucapkannya. Prabu Dasarata pernah bersumpah bahwa ia akan memberikan permintaan apapun yang diajukan Dewi Kaikeyi. Setelah mengingatkan Prabu Dasarata akan janjinya, Dewi Kaikeyi meminta Prabu Dasarata untuk membuang Rama ke hutan dan mengangkat Bharata sebagai raja Ayodhya. Betapa terkejut Prabu Dasarata mendengar permintaan istrinya ini.

Karena kasihnya pada Rama, Sang Prabu tidak kuasa untuk mengusir putra tertuanya itu. Namun ia juga tidak dapat menolak permintaan Dewi Kaikeyi, karena terikat oleh janjinya. Mengingkari janji yang telah diucapkan adalah hal yang tidak dapat diterima norma saat itu, terlebih lagi janji yang diucapkan seorang raja. Adalah merupakan awal malapetaka bagi suatu kerajaan apabila rajanya mengingkari kata-kata yang telah diucapkannya sendiri. Prabu Dasarata menjadi sangat bersedih menghadapi masalah yang menimpanya itu.

Pada saat hari penobatan tiba, Prabu Dasarata tidak kuasa untuk berkata sepatah katapun karena kesedihannya. Pada mulanya Rama tidak memahami apa yang sedang terjadi, namun setelah dijelaskan oleh Dewi Kaikeyi, ia paham akan permasalahan yang dihadapi ayahnya. Serta merta Rama meyakinkan ayahnya bahwa ia akan menjalani masa pembuangan tersebut dengan senang hati. Akhirnya penobatan tidak jadi dilaksanakan dan pada hari itu juga, dengan didampingi oleh Dewi Shinta dan Laksmana, ia berangkat menuju hutan Dandaka untuk menjalani masa pembuangannya selama 14 tahun.

Demikianlah Rama menjalani masa pembuangannya dengan kemantapan hati karena baktinya kepada orang tua. Rama menyadari bahwa janji yang telah diucapkan adalah bagaikan hutang yang harus dibayar. Karenanya, ia bertekad untuk menjalankan dharmanya sebagai anak dengan menjaga agar orang tuanya tidak melanggar janji yang diucapkan.

Kelahiran Karna
Kembali ke kisah Mahabharata, pelaksanaan dharma kali ini ditunjukan oleh sikap Dewi Kunthi yang tanpa pamrih dalam bekerja. Berikut adalah kisahnya. Suatu hari Rsi Durvasa menjadi tamu di Kerajaan Mandura, yang dipimpin oleh Raja Kunthiboja. Selama menjadi tamu di kerajaan tersebut Rsi Durvasa dilayani dengan baik oleh Dewi Kunthi, puteri Raja Kunthiboja. Merasa puas dengan pelayanan sang Dewi, Rsi Durvasa menanyakan hadiah apa yang diinginkan sang Dewi. Mendengar hal ini Dewi Kunti tidak meminta apa-apa dan menyerahkan pada Rsi Durvasa untuk memberi apa yang menurut Sang Rsi baik bagi Dewi Kunti.

Sikap Dewi Kunthi ini sejalan dengan pesan dalam Bhagawad Gita, agar manusia senantiasa bekerja sebaik-baiknya tanpa memikirkan imbalannya. Manusia tidak dapat mengetahui apa yang paling baik baginya, Hyang Widhilah yang maha mengetahui. Karenanya, manusia seyogyanya senantiasa berkarya dengan sikap pasrah dan bersyukur pada Tuhan, tanpa ada keterikatan akan hasilnya.

Kembali pada kisah Dewi Kunthi, melalui kewaskitaannya Rsi Durvasa mengetahui perjalanan hidup Dewi Kunti. Ia mengetahui bahwa pada saatnya nanti Dewi Kunti akan menikah dengan Pandu yang kemudian dikutuk untuk tidak dapat berhubungan dengan istrinya. Karena itulah maka Rsi Durvasa memberi mantra sakti kepada Dewi Kunti, dengan mana Dewi Kunti dapat memanggil dewa dan memberkatinya agar dapat melahirkan anak dengan kebesaran sama dengan dewa tersebut.
Mungkin karena masih terlalu muda sehingga tidak sabar ingin mencoba kekuatan mantra tersebut, Dewi Kunti kemudian melantunkan mantra tersebut ketika sedang berada di bawah terik matahari. Kemudian ia pun mengandung seorang putra dengan kebesaran Dewa Surya, sang putra kemudian dikenal dengan nama Karna.

Baju zirah dan anting Karna
Karna yang sejak bayi diasuh oleh sais kereta, merasa bahwa kemahirannya memanah tidak kurang dari Arjuna. Karenanya, Karna sangat berambisi untuk bertanding dengan Arjuna, dan membuktikan pada dunia bahwa ia mampu mengalahkannya. Bagi Karna, Perang Bharata Yudha adalah kesempatan emas untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sebelum perang Bharata Yudha dimulai, Batara Surya mendatangi Karna dan memberitahukan bahwa ia akan didatangi oleh seorang pendeta. Pendeta itu akan meminta baju zirah dan anting-anting milik Karna, pusaka sakti yang dapat menahan serangan senjata apapun. Batara Surya menasehati Karna untuk menolak permintaan pendeta tersebut karena pendeta itu tidak lain adalah Betara Indra, ayah Arjuna. Tujuan Batara Indra adalah agar Karna tidak lagi memiliki pelindung sakti dalam pertempuran melawan Arjuna nanti.
Mendengar peringatan ini, Karna mengucapkan terima kasih pada Batara Surya namun juga memohon maaf karena tidak bisa mengikuti anjurannya. Karna mengatakan bahwa ia pernah berjanji akan memenuhi permintaan apapun yang diajukan oleh seorang pendeta, karena itu ia tidak mungkin menolak permintaan atas baju zirah dan anting tersebut. Terlebih lagi setelah mengetahui bahwa pendeta yang akan datang tidak lain adalah Batara Indra sendiri, maka Karna pasti akan memberikan apa yang dimintanya sekalipun itu berarti mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Demikianlah akhirnya Batara Indra datang dalam wujud seorang pendeta dan meminta baju zirah dan anting milik Karna. Tanpa keraguan sedikitpun, Karna melepas baju zirah dan anting yang sudah melekat pada kulitnya tersebut dengan pisau. Tindakan ini dilakukan dengan kemantapan hati karena ia menganggap bahwa menepati kata-kata yang sudah diucapkan adalah kewajiban seorang ksatria. Bagi Karna, pelaksanaan dharma atau kewajiban lebih penting dari segalanya, termasuk dari ambisi hidupnya untuk mengalahkan Arjuna.

Demikianlah beberapa episode yang menggambarkan pelaksanaan dharma dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. Masih ada banyak lagi episode-episode dalam kedua kisah ini yang menggambarkan pengamalan ajaran filsafat, etika dan upacara Hindu. Ajaran-ajaran tersebut merupakan warisan leluhur yang tak ternilai karena bukan saja dapat mengisi kehausan batin generasi muda Hindu akan ajaran agamanya, tetapi sekaligus sebagai modal generasi muda Hindu untuk menjadi generasi yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa.



I Made B. Tirthayatra
Media Hindu, Maret 2005


Daftar Pustaka
  1. Sarasamusccaya, diterjemahkan oleh I Njoman Kadjeng dkk.2000
  2. Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Dahara Prize
  3. Sujamto. 2000. Sabda Pandhita Ratu. Dahara Prize
  4. Lal, P. 1981. The Ramayana of Valmiki. Vikas Publishing House (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Dananto, dengan judul Ramayana, Penerbit PT Penebar Swadaya)
  5. Krishna, Anand. Paramhansa Yogananda, Autobigrafi Seorang Yogi. Gramedia
  6. Krishna, Anand. 1998. Bhagawad Gita Bagi Orang Modern. Gramedia, Jakarta
  7. D.M. Sunardi. 1993. Barata Yudha, Balai Pustaka